Katamu, Aku Begitu Ikhlas Mencintaimu. Dan Pada Waktu Itu, Ikhlas Bukanlah Lagi 'Ikhlas' Yang Kaumaksud

Di suatu pagi yang terlalu tua, kau bertanya padaku, "apakah kedekatan ini perlu sebuah status?". Dan secepat kilat pertanyaanmu ditutup dengan jawabanku yang pasti--"tidak".

Aku boleh saja membiarkanmu tumbuh sesuai apa yang kusaksikan, sayangnya kau membiarkanku tumbuh dengan pemikiranmu sendiri. Tahun-tahun yang telah lalu, musim-musim yang malu, ternyata tidak membayarkan apapun atas pertemuan-pertemuan dan rasa cemasku terhadap pengharapan yang seringkali mendesak untuk tumbuh, bercabang, membesar.

Kita tumbuh dewasa, dan aku masih menyimpan rasa.

Jika pada hari-hari lalu aku adalah doa yang takzim dalam diam, maka  belakangan ini aku menjadi kebodohan yang riuh. Banyak sekali orang yang mengeluhkan betapa menyakitkan mencintai dalam diam, sedang yang kurasakan adalah, hal terbaik dari mencintai adalah ketika riuh dalam diam, sebab hanya aku, doa, dan Tuhan-lah yang merayakan segala cinta dan perasaan yang tumbuh.

Kita tumbuh dewasa, dan aku menjadi sosok yang paling tangguh untuk mencintaimu diam-diam; mendoakanmu bahagia, menemanimu yang luka, mengobatimu dalam hampa, melepasmu untuk jatuh cinta.

Bisa saja kau memberiku waktu dan kesempatan atas apa yang selama ini kunantikan. Tetapi ragu yang telah diucap ibuku, serupa doa yang tak pernah kuaminkan. Kuyakinkan diri, kuteguhkan hati. Namun, doa ibu mana yang pernah salah? Pada akhirnya, tetap saja doa ibu yang didengar Tuhan, setelah itu doaku. Kau yang kunanti-nanti, ternyata bukan apa yang kucari-cari. Sebab kau tak biarkan kujadikan dirimu jawaban atas pertanyaan yang menahun kupendam sendiri. Hasilnya? Pemahaman dan analisa atas praduga yang kuusahakan baik.

Kau pernah mengatakan betapa ikhlas dan tabah aku dalam mencintaimu. Aku tak pernah sadar esensi ikhlas yang luar biasa hebat. Tapi ternyata, ikhlas yang sesungguhnya telah dibangun dan diajarkan oleh orang lain padaku; bahwa apa yang kuinginkan, tidaklah harus termiliki. Pada tahun-tahun yang telah usang, kau pernah menjadi yang terdambakan. Lalu realita yang berulang kali kau tekankan padaku, perihal cinta yang tidak mungkin tumbuh dan berkembang di antara, pelan-pelan membangun diri menjadi tembok besar penguat hati; entah penguat hatiku dari perasaan yang kutahan bertahun-tahun, entah penguat hati untuk tidak lagi tergoda atas segala perasaan itu.

Kita tumbuh dewasa, dan kau terlenakan rasa.

Bagimu, mungkin ini merupakan fase baru; untuk saling mengenali, untuk saling memahami, untuk berdamai dengan hati. Malam lalu, yang kusadari adalah ini fase yang sama. Aku telah menghabiskan ribuan hari untuk mengenalimu, meski pada akhirnya mungkin aku gagal. Aku sudah melewati jutaan menit untuk memahamimu, meski pada akhirnya aku bukanlah yang kauingin. Aku... aku juga melalui detik-detik unruk berdamai. Ini fasemu, bukan aku.

Ternyata, ikhlas bukanlah lagi 'ikhlas', ketika aku menjelaskan padamu perihal penantian yang bertahun-tahun kutakzimkan untukmu. Sebab mungkin, aku telah lelah menanti saat kau menyadari ketabahanku dalam diam. Atau mungkin, kalimatmu malam itu telah menina-bobokkan seluruh sabar yang kupatri dalam tahun-tahun penantian tanpa batas.

Kita tumbuh dewasa, dan aku mati duluan.

Post a Comment

1 Comments

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    ReplyDelete