Luka Di Suatu Senja

Di suatu petang yang dipenuhi mega-mega jingga, kita saling mengajukan pertanyaan. Segalanya terlihat baik-baik saja, meski kita sama-sama tahu kecewa yang bertalu di jenggala imaji masing-masing. Tanpa sadar, kita membangun harapan masing-masing atas jawaban yang akan diterima. Dengan mendoktrin diri sendiri, kita berusaha realistis atas jawaban yang saling kita lemparkan. Nyatanya, kita memang terluka. Aku memang terkecewakan. Kau memang disesalkan.

Lalu, pada malam yang teramat muda, kau coba menebak yang tersirat di wajah. Nyatanya kita menarik spekulasi sendiri, berkilah tak tahu diri, padahal hati mengamini. Seperti ucapmu; mataku menyiratkan segalanya. Dan kau mengalihkan pandang.

Sesekali kita teramat manis, mengalahkan diabates yang membunuh dengan sadis. Di banyak waktu, kau bertingkah teramat realistis, hingga terkadang luka menggores di hati. Dan tanya besar membenak, apa yang sedang kita jalani? Kesia-siaan yang jelas, atau undian yang harap-harap cemas? 

Sayang, kita punya rasa masing-masing. Kita menumbuhkannya dengan takzim. Kau menuliskannya dalam partitur, sedang aku melangitkan namamu. Hujanmu menumbuhkannya subur, senjaku mengantarkannya tidur. Cabang-cabangnya menganak, ranting-rantingnya menguat, batang utamanya mengakar-bumi. Bagaimanalah bisa kita cegah semua itu? Sedang di suatu ketika, kita dengan tahu akan menebangnya, membakar habis tunas-tunasnya, memijak mati benihnya. Tidakkah itu berarti kesia-siaan yang paling sia-sia? 

Sayang, kita punya hati. Dan dengan sengaja kita sakiti.

Post a Comment

0 Comments