Dear
Orion,
Bagaimana
kabarmu di atas sana? Masihkah kau menantikanku kala malam merambah hidupku? Masihkah
kau yang paling terang di atas sana? Ah, lama tak menyapamu.
Orion,
kau sudah menemukan bintang lain? atau kau sudah menemukan hal yang jauh lebih
indah dariku? Aku merindukanmu.
Orion,
jika saja kau bagian dari bumi yang menghidupiku, mungkin aku akan menggapaimu
dengan mudah. Kalau saja kau bisa hidup dengan oksigenku, mungkin aku sudah
memaksamu untuk turun menemaniku. Andai saja tekanan udara yang kita rasa
adalah sama, mungkin aku ataupun kau tak butuh penyesuaian yang mungkin saja
merenggut hidup salah satu di antara kita.
Orion.
Ya, kau tetap menjadi bintang paling terang di atas sana. Kau tampak sempurna
dari bumiku. Kau paling berpendar di sana. Terkadang, aku merasa begitu rendah
untuk bisa mengharapkanmu.
Orion,
aku takkan bisa menyesuaikan diri dengan duniamu, dengan keadaanmu. Aku hanya
Dandelion kecil yang rapuh, meski aku cukup kuat untuk bisa memberikan kehidupan
baru yang terletak jauh dariku. Aku hanya Dandelion yang akan melepaskan
serbuknya satu per satu saat angin mulai merayuku. Ah, tetap saja aku tak bisa
membenci angin.
Aku
akan menyertakan sepenggal syair cinta dariku, dari Dandelion, untuk Orion yang
terindah. Syair cinta yang takkan mempunyai akhir pelengkap. Syair yang entah
darimana harus kucari endingnya. Bahkan, aku pun tak tahu harus kuletakkan
dimana endingnya.
Kemarin,
aku baru saja menggunting sepenggal syair ini dari salah satu penyair hebat dan
tegar. Pastinya itu bukan aku. Karena, aku tak pernah menjadi Dandelion yang
tegar. Aku tetap saja rapuh.
Jika benar, jika
cinta
Aku bisa
menyederhanakannya dengan asumsi pendekku
Yang kemudian
menghilang sebelum mencapai telingamu untuk kau dengar
Meski aku telah
menyambungnya dengan menepis segala kebenaran dan keadaannya
Tetap saja, harus ada
yang aku ataupun kau batasi
Jika benar, jika
cinta
Maka aku menginginkannya
hidup di dunia yang lain
Yang bisa membuat aku
ataupun kau beradaptasi akannya, tanpa membunuh aku ataupun kau
Membuat kita
menghirup udara yang sama
Hingga kita mereguk
cinta yang berujung di sana
Jika benar, jika
cinta
Aku ataupun kau,
masih saja mencari-cari kebenaran
Memungut rumus-rumus
untuk menyederhanakan cinta yang diam-diam mengendap di tengah asa
Yang perlahan merayap
hingga membuatku meratap
Yang terkadang
membiusku hingga tak sadarkan diri
Jika benar, jika
cinta
Aku ingin mencintaimu
dengan sesederhana mungkin
Sesederhana izinmu
untuk aku mencintamu
Sesederhana kata-kata
“aku mencintaimu” atau “kau boleh mencintaiku”
Sesimpel waktu 24 jam
untuk aku ataupun kau saling melupakan, meski berhari-hari aku ataupun kau
saling mencintai
Jika benar, jika
cinta
Sayangnya, aku masih
berkeyakinan ini salah
Sayangnya, aku masih
saja mencintaimu
Sayangnya, kau masih
saja membalas rasa ini
Ya,
Orion, jika benar, jika cinta. Jika saja kita tak terjebak dalam keadaan ini,
mungkin aku ataupun kau bebas mengeja cinta pada setiap inci rasa yang mulai
mengikis jarak di antara kita. Miris, ketika aku menyadari aku hanya Dandelion
yang tak jauh lebih indah dari Mawarmu. Tak jauh lebih harum dari Melatimu.
Perlahan,
angin mulai mengikis serbuk-serbukku. Aku membiarkannya, aku tak bisa membenci
angin. Di sana nanti, ketika serbukku mencapai daratan yang lain, aku akan
menemukan kehidupan yang baru. Dan tetap saja kau ada di atas sana, menjadi
Orion terindah.
Tak
bisakah kau berubah menjadi biasa sepertiku? Seperti syairku yang berusaha
menyederhanakan cinta di antara aku ataupun kau?
Salam,
Serbuk Dandelion
0 Comments