Ironi Di Antara Pembaca Buku

Bagi orang-orang yang memiliki hobi membaca, mungkin rasanya nggak afdol kalau dalam setahun nggak ada satu pun buku yang dibaca. Bahkan untuk pembaca akut, sehari nggak kelar baca satu buku juga rasanya hampa banget. Perihal membaca sendiri, tentu setiap orang memiliki kesukaannya masing-masing, baik itu fiksi maupun non fiksi. Di tulisan ini, aku mau bahas ironi dalam dunia pembaca-buku-fiksi.

Manusia dilahirkan berbeda-beda, dan aku selalu setiap manusia itu ‘unik’. Itulah mengapa terkadang aku tertarik mempelajari psikologi atau berusaha memahami berbagai karakter orang. Dari ke-‘unik’-an ini, tentunya selera buku yang dibaca berbeda-beda. Bisa jadi komik, novel, cerpen, novelette, dan lainnya. Untuk genrenya sendiri, ada yang menyukai romance, thriller, sci-fi, detective, dan lainnya.

Lalu, apa ironi yang kumaksudkan tadi?

Begini, sebagian orang yang hobi membaca novel thriller, detective, sci-fi atau yang biasa mereka sebut sastra berat, seringkali merasa dari bacaan mereka itu, mereka telah menguasai banyak hal, mengetahui segalanya, dan memiliki otak secerdas Einstein dengan embel-embel statement; “kan novel yang kubaca berat semua” (batu kali ya), “novel detective, sci-fi, thriller kan memacu otak untuk berpikir. Cuma orang-orang tertentu aja yang bisa menelan semua itu” (makanan ya?).

Benar, semua yang mereka bilang itu benar. Lalu dimana letak ironi-nya? Di sini, “romance itu produk gagal perusak otak.”, “ah, terlalu ringan”, “ah romance nggak ada apa-apanya. Bacaan sampah!”, “cinta itu terlalu klise. Semua novel romance klise”.

Itu, ya di situ ironi-nya. Setelah merasa mampu menuntaskan bacaan setebal Gone With The Wind, atau mampu menelaah Da Vinci Code, sebagian orang-orang ini merasa Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin atau Antologi Rasa atau novel teenlit ala-ala anak SMA, itu cuma sampah! Ironi sekali, bukan? Padahal, jika disuruh menulis novel romance seperti yang kusebutkan tadi pun, belum tentu bisa kan? Pembaca belum tentu penulis, tetapi penulis sudah pasti pembaca.

Begini, aku tentu nggak menyalahkan siapa-siapa. Nggak dong. Secara aku di sini cuma pengamat dari segala sisi aja, bukan kritikus sastra atau dewan kurator  (kuliah jurusan sastra aja enggak!). Setiap orang berhak memiliki kesukaannya masing-masing. Tapi mengapa harus menghina hal lain yang tidak disukai?

Hal yang wajar jika tidak menyukai sebuah buku. Objektif. Misal banyak yang nggak suka novel Setiaku (aku mama durhaka ya) karena isinya yang terlalu menye-menye atau apalah, ya sah-sah saja. Suka tidak sukanya ya balik ke individu masing-masing. Tapi di posisi ini, kita hanya tidak menyukai sebuah buku, bukan menghina sebuah genre, kan?

Kita nggak pernah tahu, bagaimana usaha seorang penulis untuk mewujudkan mimpinya menjadi penulis, mulai menulis naskah, mempertahankan ide, tabah ‘bernapas’ lebih panjang, belum lagi menerima cobaan-cobaan lain baik intern maupun ekstern, menandatangan MoU, hingga melihat karyanya dipajang di toko buku seantero jagat raya. Apakah kita tahu bagaimana perjuangannya? Tidak! We never know.

Yang lebih miris lagi, aku mengenal seseorang yang tergabung dalam komunitas pembaca buku yang—bisa kubilang nasional dan internasional, tetapi dia angora region di suatu daerah. Beliau (yaelah beliau hahaha xD) ini berkata, “aku nggak suka fiksi. Bacaanku non fiksi yang berat-berat. Fiksi terlalu menye-menye sih kalo untuk aku. Kecuali puisi, itulah fiksi yang kubaca. Itu pun dari penyair-penyair lama. Kalau dalam tulisan aku juga sama kayak bacaan, nggak suka fiksi”. HELLOOOOOWWW bulan lalu si Beliau ini baru aja mengirimkan sebuah cerpen ke emailku dan berkata, “Rum, koreksiin cerpenku ya. Aku lagi taruhan sama kawanku”. INI APA NAMANYA SODARAH_SODARAH KALO BUKAN FIKSI? CERPEN ITU NON FIKSI YA? Oh, oke, mungkin aku yang dulu kurang belajar bahasa Indonesia. *syedih

Ya ya ya, aku ngerti. Kasus ini sama kayak pecinta espresso kental yang super pahit, ketika duduk semeja bersama teman ngopinya yang memesan latte—yang rasanya tentu lebih manis daripada espresso. Dan dengan wajah polos bak malaikat dia menggeram dalam hati, “Ha, katanya pecinta kopi, tapi mesannya latte yang manis gitu!”. Ya, kira-kira kasus pembaca yang di atas tadi, hampir sama kayak gini.

Seorang pecinta karya seni, tidak akan menghina karya seni lainnya. Karena ia pasti yakin setiap karya punya kehidupan dan cerita sendiri. Sama seperti romance tadi, tentu untuk menuliskannya butuh empati yang tinggi. Belum lagi kalau cerita itu true story, kebayang nggak sih gimana rasanya meraih cita-cita dengan bayang-bayang kenangan yang nggak manis itu. Ya mending kasusnya Cuma diputusin pacar, mungkin ini kasus sepele untuk kebanyakan orang. Tapi kalau kasusnya melihat kematian kedua orangtua di hadapan sendiri, rasanya gimana? Ngebawa trauma, sedih, sakit hati, dan retak perasaan lainnya secara bersamaan, dengan hati dipenuhi rasa harap-harap cemas apakah novel yang ia tuliskan akan selesai, belum lagi ia harus menunggu proses kurasi selama 3 bulan dengan kecemasan diterima atau tidak naskahnya.

Setidaknya mengertilah, proses menulis hingga sebuah buku diterbitkan, nggak segampang kalimat “romance tulisan sampah!”.

Percaya atau enggak, meski sebagian orang menganggap romance itu hal paling klise di dunia, percayalah, tanpa romance, tanpa cinta, mereka yang menyumpahi genre ini, tidak akan ada di dunia ini. Aku percaya, setiap manusia yang terlahir di dunia ini karena cinta, dipenuhi oleh cinta—cinta kedua orangtua.

Dan yang agak menggangguku, jika sebagian orang ini berpikir seperti itu terhadap genre romance, lalu bagaimana pemikiran mereka tentang pembaca-pembaca romance ini? Produk gagal yang otaknya telah rusak? Begitukah? Hhmmm... Kasar sekali jika memang seperti ini :') *sedih

Ayolah, kita sesama pecinta buku. Dengan menjatuhkan suatu genre, kita bukan hanya menjatuhkan penulisnya, tetapi para pembacanya juga. Haruskah sesama pembaca buku saling menjatuhkan seperti ini? 

Kenapa aku menulis hal ini?
Karena sejujurnya hal ini mulai mengusikku sejak pertama kali aku mendengar kalimat-kalimat tidak enak itu. Bukan karena aku pernah menulis naskah romance dan merasa sakit hati dengan kalimat-kalimat itu. Oh, tidak. Tentu saja aku tidak sakit hati karena itu. Tetapi ya seperti yang tadi kubilang, aku merasa miris dengan ironi ini, di antara sesama pecinta buku.

Orang-orang yang menulis novel romance, tidak selamanya mereka pecinta romance. Tidak sedikit orang yang membaca detective, thriller, sci-fi, fantasi, tetapi pada akhirnya menulis buku romance. Kenapa? (Untuk jawabannya, silahkan chat pribadi aja ya, panjang nanti kalau dijelaskan ahahha). Kesukaan, kebutuhan pasar, dan jiwa memiliki jalan yang berbeda, meski dengan tujuan sama. Jiwa yang dipenuhi rasa seni tinggi, pasti bisa mengolah semua itu dengan baik, tidak peduli latar bacaan mereka yang seperti apa.

Perlu contoh?
Misal si Mbak Farrah, ini penulis cerdas gilak! Bacaannya pun keren abis! Tetapi ia menulis novel romance. Adalagi Mas Reza Nufa, dia ini kritis sekali orangnya, cerdasnya nggak tertandingi, bacaannya? Beeuuh, nggak usah ditanyak! Yang biasa ngebaca Da Vinci Code atau lainnya, belum tentu sanggup ngebaca bacaannya. Dan dia, juga pernah menulis novel romance, meski ada nuansa politik di dalamnya.

Setiap karya yang dikerjakan sepenuh hati, menggunakan sepenuh jiwa pembuatnya, adalah karya yang sangat layak untuk diapresiasi.

FYI, bacaanku fantasi loh pada awalnya :D


Post a Comment

0 Comments