DIALOGUE

Malam itu, kafe tempat kita menikmati secangkir latte masih dengan keramaian yang sama. Kita duduk di depan jendela besar seperti biasanya, dan kau menempati kursi di seberangku.

Jemariku yang mulai lelah menekan tuts keyboard, membuatku menghentikan aktivitasku. Dan seperti biasa, dari balik laptop, aku memandangmu yang seksama mendengarkan potongan percakapan dari orang-orang di sekitar kita.

“Dialog.” ucapku, yang memecah fokusmu.

Kau mengulum senyum tipis, persis seperti caramu yang khas. “Dia-lo-gue.” Kau mengejanya, seperti biasa, dan aku langsung paham apa yang kaumaksud.

“Apa yang menarik dari sebuah percakapan?” tanyaku, setelah beberapa saat kita hening dalam diam.

Alismu bertaut. Sejenak kau ingin mengucapkan sesuatu, lalu kau kembali diam dan mengatupkan mulutmu. Tiga menit kemudian, akhirnya kau menjelaskan. “Ekspresi.”

Dahiku berkerut, heran. “Ekspresi?”

Kau tertawa, meningkahi apa yang tercetak di wajahku. Lagi-lagi, kau membuatku kesal, dan percakapan ini lagi-lagi tidak selesai.

Malam ini sama seperti kemarin. Meja di sudut kafe, jendela besar di sisiku dan secangkir latte. Sayangnya kau tidak duduk di seberang meja, kau berada di meja yang lain bersama wanita itu, wanita yang tidak pernah bersuara.

Kau benar tentang dialog. Tentang percakapan dua orang atau lebih.
Sekarang aku mengerti mengapa kau teramat mencintai wanita itu, dan mengapa kau selalu memperhatikan percakapan setiap orang. Sebab, wanita itu mengajarkanmu arti sunyi. Sedangkan ekspresi yang kau tangkap dalam sebuah percakapan, selalu mengajarkanmu untuk memahami wanita itu.


Setiap orang memiliki dialog kehidupannya sendiri. Dan dialog hidupku ada dalam kalimat yang selalu kauucap, DIA-LO-GUE.

Post a Comment

0 Comments