Rumah

Aku lelah. Hari ini aku lemah. Aku pernah lelah, aku pernah terpuruk. Namun, kali ini, aku lelah, aku lemah, dan aku merindu. Ada tawa yang kurindukan. Ada suara menenangkan yang sangat ingin kudengar. Aku sedang buruk, aku sangat tidak baik saat ini. Aku ingin mengatakan hal ini pada dia. Ya, dia. Sosok yang biasanya selalu ada di saat titik terberatku.

Hari ini aku lelah. Sangat lelah. Menahan air mata dan beban yang perlahan menghujamku. Datang bersamaan, bak ribuan busur panah yang menghunjamku. Aku merasa sendiri, sepi. Aku ingin mengeluh, mengatakan bahwa aku tak sanggup lagi. Aku ingin bersandar sejenak. Di bahu itu, bahu miliknya.

Aku hanya seseorang yang ingin menjadi yang terbaik untuknya, untuk dia. Aku hanya sosok pesimis yang berusaha menjadi optimis untuk mendapatkan ruang di hidupnya, menjadi kebanggaannya. Meski sulit, aku melalui segalanya, dan kembali kutemukan alasan mendasar aku berjuang mati-matian. Dia. Ya, karena dia.

Aku semakin merindu. Aku membutuhkan seorang teman. Aku membutuhkannya. Tapi, suatu pagi, saat aku terbangun dan membuka mata, yang kudapati adalah setiap langkahnya yang kian menjauhiku. Dia pergi. Perlahan aku mulai merasa kalau kerinduan ini salah. Aku salah telah merindukannya. Namun, ini begitu indah, juga terbalut pedih. Dia semakin menjauh, semakin tak kukenal. Mungkinkah, akan ada waktunya sedikit yang tersisa untukku? Sedikit saja, aku hanya ingin bersandar.

Aku tahu, begitu juga Tuhan. Dia pasti tahu yang kumaksud dia. Aku merindukan dia yang sekarang entah di mana. Aku masih saja berjuang untuk sebuah pertemuan yang kurasa tak lagi diinginkannya, atau bahkan terlintas di benaknya. Aku hanya ingin menjadi kebanggannya. Aku hanya ingin ada yang mengerti lelah hati ini. Tapi, lagi, sebuah pertanyaan mengusikku. Pertanyaan, yang menahan ucap rinduku. Menahan setiap hal dan setiap beban yang ingin kubagi dengannya. Aku ingin bersandar di bahunya.

Siapa aku? Bukan siapa-siapa untuknya. Aku hanya bagian dari hidupnya, yang pernah ada di sana, dan sekarang, mulai tersingkir ke pinggir Daratan Terlupakan..

Setiap dari kita akan merindukan rumah. Aku merindukannya. Dia rumahku. Rumah untuk setiap kepulanganku. Rumah yang akan menjadi tempatku menggantungkan setiap pencapaiianku. Rumah tempatku berlabuh dari segala lelah dan sakit ini. Tapi, apa jadinya jika rumah itu berjalan menjauh, meninggalkanku? Ke mana aku harus pulang?

Post a Comment

0 Comments