Malam Yang Cerah dan Rumah Yang Berkabung Duka



“Jatuh cinta perkara sederhana untuk orang berpunya,” ucap lelaki paruh baya itu kepada anak lelakinya. 


Malam kian dingin. Pulau itu, di penghujung tahun selalu ramai angin. Musim hujan tak pernah henti. Beberapa pelabuhan malah ditutup, sebab laut sedang tak bersahabat. Angin Selatan, kata mereka. 


Paijo dan anaknya—Ipung—duduk di beranda rumah. Sesekali terdengar gemericik air. Maklum, rumah mereka dibangun tepat di atas rawa, yang tiap malam air laut selalu menggenanginya. Tak jarang Paijo mancing dari teras rumahnya, jika ia sedang tidak bisa tidur dan teringat seorang perempuan dari masa lalunya.


Ah, perempuan itu, batin Paijo.   


Anaknya menggeser duduk, memperhatikan kail pancingnya yang sepi gerakan. “Kenapa gitu, Pak?”


Dalam benaknya, Paijo teringat senyum menawan perempuan yang telah memikat sukmanya sejak lama. Sungguh, mengenangnya saja sudah membuatnya setenang ini. Barangkali cinta sering membuat manusia lupa akal, tetapi tak mengapalah. Bagi Paijo, cintanya telah menjelma tenang yang tak berbatas, membentuk lautan tabah tak terukur di dadanya. “Lah iya, orang berpunya itu, kalau cinta, tinggal nikah. Apa sulitnya? Orang berpunya nggak akan terlalu peduli soal tata krama calon menantunya, apalagi khawatir kehidupan anaknya besok-besok. Uang menjamin segalanya.”


“Beda sama kita ya, Pak. Orang kecil, tata krama di atas segalanya. Kekhawatiranpun lebih banyak. Takut dapur nggak cukup, takut anaknya nggak bahagia, dan lainnya,” sambut Ipung santai. Kali ia lebih khawatir tak ada ikan yang mendekat, sebab percakapan ia dan Bapaknya benar-benar berisik. Atau, karena hanya mereka berdua saja yang terjaga malam itu, sehingga malam terlalu senyap, dan suara percakapan mereka yang tenang-tenang itu terlihat begitu gaduh.


Lelaki paruh baya itu berdehem pelan, menghela napas dalam-dalam. Seringkali, pada malam-malam tertentu, rindu justru begitu membebaninya. Membuat napasnya sesak. Paijo ingat betul, perkara cintanya yang tak kesampaian. Hanya karena ia baru saja menganggur kala itu. Padahal, ia lelaki yang mau bekerja demi perempuannya. 


Sempat pula dalam kepala Paijo terlintas untuk kawin lari, tapi disangkal oleh perempuannya. Paijo bukan orang yang seperti itu, maka jika Paijo melakukan hal seceroboh itu, perempuan itulah penyebab segala keburukannya. Maka Paijo pun memutuskan untuk memendam keinginannya. Perempuan itu, selalu saja mengagungkan dirinya, menganggapnya sebaik malaikat. Padahal, Paijo hanya lelaki biasa. Sesekali ingin berbuat gila. Terlanjur jatuh hatinya pada perempuan itu.


Pancing Ipung bergerak, sesuatu menarik umpannya. Wajahnya cerah. Sebuah sabit terhias di wajahnya. Dengan cekatan tangannya memutar reel. Sedikit lagi, ia semakin semangat menarik hasil pancingannya. Ikan menggeliat, bergerak-gerak, berusaha meloloskan diri. Seringai wajah Ipung kian berseri. Semangatnya kian membara, seiring semangat ikan untuk meloloskan diri dari kail yang menjeratnya. Dan, hap! Senar pancingnya baru terangkat beberapa senti di atas permukaan air, bertepatan dengan keberhasilan ikan di kail pancingnya meloloskan diri. Ipung ber-puh kecewa. “Hampir saja,” katanya lesu.


Paijo menepuk pundak anaknya. “Hampir saja nggak pernah berarti akan. Jangan terlalu banyak berharap sebelum ikan itu benar-benar masuk ke dalam embermu.”


Si anak mengangguk, mengaminkan ucapan bapaknya. “Jadi, bagaimana perempuan itu?” tanya Ipung seraya melemparkan tatapannya ke sosok di sebelahnya. 


Belakangan, sejak ia beranjak dewasa, ia tak lagi membenci bapaknya. Seketika ia paham apa yang dirasakan bapaknya. Hanya karena ada sesosok perempuan masa lalu yang masih menempati palung terdalam hati bapaknya, tak berarti bapaknya lantas bersikap tidak baik kepada ibunya. Ipung akhirnya menyadari, bapaknya adalah lelaki yang baik. Bapaknya bukan malaikat, ada sisi manusiawinya yang merindukan sesuatu dari masa lalunya. Anak lelaki itu jauh lebih berterima tentang kenyataannya sekarang. Sebab, bapaknya hanya jatuh cinta dulu, jauh sebelum mengenal ibunya.

***

Sore itu, pelabuhan menjadi ramai pengunjung. Wajar saja, tidak setiap waktu ada keberangkatan yang dimaksud. Antrian boarding padat merayap, orang-orang berebutan oksigen. Di beberapa tempat anak-anak mulai merengek dan menangis, di sisi lain, orang-orang mulai emosi. Panas sore itu benar-benar memperburuk suasana. Belum lagi hati-hati yang harus menyambut perpisahan dengan suka-cita. Ya, mau bagaimana lagi, orang-orang dewasa terlalu malu untuk berduka cita di depan umum, perihal menghadapi perpisahan pula. 


Embusan angin menerbangkan anak rambut perempuan itu. Rambut sebahunya tergerai indah. Nun di sudut matanya, menangkap selaksa lanskap; tentang pelabuhan yang sibuk, terik matahari yang pongah, dan sesosok lelaki yang telah lama bersemayam dalam  doa-doanya. 


Lelaki itu bukan sesosok lelaki yang membuat jantungnya berdebar cepat, atau membuatnya ingin mengklaim lelaki itu sebagai miliknya. Bukan. Lelaki itu adalah wujud sederhana dalam gemuruh hidupnya yang riuh rendah. Seumpama ketenangan dalam gaduh di dada kirinya. Lelaki itu serupa segala kebaikan yang dirangkum Tuhan untuknya.


“Sudah, aku harus boarding sekarang,” kata lelaki itu yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya.

Lamunan perempuan itu buyar, digantikan senyum yang teruntai tulus. “Hati-hati, terima kasih.”


Tangan lelaki itu mengusap kepala perempuan di hadapannya. “Baik-baik di sini,” ucapnya penuh kelembutan, dibalas anggukan penuh keyakinan oleh perempuan itu. 


Dan begitu saja, seketika lelaki itu sudah berada di mulut garbatara, melambaikan tangan ke arah perempuan yang sejak tadi menungguinya. 


Lambaiannya bersambut, ditambah sebuah senyum yang begitu tulus. Senyum yang akan dikenangnya hingga berpuluh tahun kemudian. Sedang perempuan itu, merasakan setengah dirinya telah pergi menjauh, yang ia sadari berpuluh tahun kemudian, bahwa dirinya tak pernah lengkap sampai kapanpun, sejak perpisahannya dengan lelaki itu.

***

Paijo berdehem sekali lagi. Ia bingung harus memulai darimana. Kisah itu begitu panjang diingatan, meski sebenarnya begitu singkat di kenyataan. Tetapi, ah, soal perasaan memang tak pernah menjadi singkat. 


“Pak?” Ipung menepuk pundak bapaknya.


Yang ditepuk terkejut, lalu menyeringai kikuk. “Harus mulai darimana, ya?”


“Ya, darimana aja. Apa yang membuat perempuan itu begitu istimewa?” lagi-lagi anak lelaki itu bertanya santai, tanpa tahu gemuruh yang badai di hati bapaknya.


Paijo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ia seperti ditodong pertanyaan tentang seseorang yang membuatnya jatuh cinta, persis seperti dulu saat orangtuanya menodong ia dengan pertanyaan yang sama. Bedanya, sekarang yang menodong ia dengan pertanyaan itu adalah anaknya sendiri. 


“Kau tahu, Pung, dalam kehidupan ini, terkadang kita dipertemukan dengan orang-orang yang memberikan kesan mendalam, tetapi nggak berarti akan tinggal. Barangkali, perempuan itu pun begitu. Ia begitu sederhana, tetapi isi kepalanya ribet luar biasa,” ucapnya memulai cerita.


Mata Ipung membulat, terlihat begitu bersemangat. “Ribet seperti pertanyaan bapak tentang kenapa pesawat nggak jatuh padahal ada gaya gravitasi?” tanyanya sembari terkekeh.


Lelaki paruh baya itu? Berakhir nyengir dan menggaruk kepalanya meski tidak gatal. Kini anak lelakinya meledeknya. “Ah, kau ini.”


“Kalian sama-sama ribet ternyata, Pak, pantas saja,” lanjut Ipung ditengah tawanya.


Kali ini Paijo ikut tertawa. Barangkali benar yang dikatakan oleh anaknya. “Dia jauh lebih ribet, bahkan terkadang ia sulit sekali percaya akan sesuatu, jadi Bapak harus dengan tabah menjelaskan jawabannya hingga ia berterima.”


“Kalian cocok,” potong Ipung.


Lelaki paruh baya itu terdiam beberapa jenak, lalu mengangguk, mengaminkan perkataan anaknya. “Mencari yang cocok itu susah,” tandasnya. 


Kali ini giliran Ipung yang mengangguk. “Benar.”


“Tapi…” ucapan Paijo menggantung di udara.


Angin berembus kencang. Beberapa hewan malam bercakap-cakap, menjadikan malam kian takzim. Ucapan Paijo menghilang di langit kelam.


“Di dunia ini nggak ada yang benar-benar cocok, kalau nggak dicocok-cocokkan.” Paijo menamatkan kalimatnya.


Anaknya tak langsung menanggapi, sebab ia melihat air beriak. Sepertinya ada ikan yang mendekati kailnya. Dan, hap! Ia memutar reel dengan cepat dan berhasil mendapatkan ikan. “Tapi dicocok-cocokkan itu juga butuh orang yang cocok. Kayak ikan ini, aku tak suka ikan ini, tapi tak mengapa. Nah, aku dan ikan ini sudah sama-sama saling terima. Gitu kan, Pak?”


Paijo mengangguk. Lagi-lagi senyum perempuan itu tergurat dalam ingatannya. Ah, kamu…

***

Kemarin, aku memikirkan segala kemungkinan untuk bersamamu.



Sebuah pesan menggetarkan ponsel perempuan itu. Matanya berkedip, berulang kali dibacanya pesan yang baru saja ia terima. Malam itu, dia berterima kasih kepada Tuhan. Rasanya, segala doa panjangnya telah terjawab. Maka ia tak ingin apapun lagi, selain restu orangtuanya dan lelaki yang menjadi jawaban doa-doa sederhananya selama ini.


Di seberang pulau, perempuan itu menjadi pemandangan paling cemerlang di langit gelap. Senyum sabitnya menggantung benderang di sana. Rona merah di pipinya, menjadi mentari paling cerah keesokan paginya. Sungguh, ini bukan perihal jatuh cinta, tetapi perasaan baik-baik saja ketika bersama seseorang. 


Perempuan itu, belum tahu saja duka yang menghadang di depannya nanti.

***

Gugusan gemintang di langit begitu terang, bertaburan serupa pasir putih di pinggir pantai. Benar-benar malam yang indah untuk mengenang apa-apa yang istimewa. 


“Bapak nggak pernah tahu, apakah dia mencintai Bapak atau enggak. Segala perasaannya teramat sederhana. Bapak bukan nggak tahu kebahagiaan di matanya setiap kali Bapak datang memenuhi undangannya….”


“Dia tidak pernah bertingkah seperti menginginkan Bapak?” potong Ipung cepat, penasaran.


Paijo menggeleng. “Nggak pernah posesif, bilang rindu aja nggak pernah. Haha..” Ia tertawa sebentar. “Tetapi Bapak tahu, ketika tiba-tiba ia mengirimin Bapak pesan yang hanya berisi menanyakan kabar Bapak, ia sedang merindukan Bapak.”


Ipung terkekeh. “Bapak ge-er, ihk.”


Lelaki di sebelah Ipung mengangkat bahu. “Ya, begitulah. Barangkali hanya perasaan Bapak, tetapi semuanya terbukti pada akhirnya.”


“Tahu darimana?” potong Ipung cepat, seolah tidak percaya pada Bapaknya.


“Perempuan itu sendiri yang mengatakan kepada Bapak. Perasaannya yang begitu sederhana itu, ditambah pertanyaan-pertanyaan rumitnya, membuat Bapak menyukainya. Pung, Bapak tahu, andai kami bersama, hidup kami mungkin nggak selalu baik. Tetapi Bapak merasa, setiap bersamanya, segalanya akan baik-baik saja.” 


Mata Ipung berpendar. Seolah ia merasakan bagaimana sederhananya perasaan perempuan yang telah menyita seluruh hidup bapaknya ini. Ia semakin yakin, almarhumah ibunya pun tak mungkin membenci perempuan itu. Apa yang hendak dibenci dari seorang perempuan dengan perasaan sesederhana itu? Sungguh, dalam hati ia mengakui, perempuan itu begitu layak dicintai sepenuh hati.

***

Pulau seberang sedang ramai. Tersiar kabar tentang seorang perempuan yang meminta matahari sebagai mahar pernikahannya. Dan luar biasa, ternyata masih ada saja lelaki bodoh yang mendaftarkan diri ke sayembara gila itu. 


Di sebuah rumah, seorang perempuan paruh baya memasuki kamar anak perempuannya yang berusia seperempat abad. Di lihatnya anak itu, sudah beberapa bulan hanya melamun di kamar. Dihitungnya dengan jari, setiap anak itu keluar dari kamar, hanya dihabiskan untuk bekerja. Sepulang bekerja? Usah ditanya, waktunya habis hanya untuk melamun dan memandangi langit. 


“Mana ada laki-laki yang bisa membawa matahari turun,” ucap perempuan paruh baya itu. Ia berjalan menghapiri putrinya, duduk di tepi tempat tidur anaknya.


Si anak tak bereaksi banyak, tidak menatap ke sumber suara juga. “Memang itu tujuannya.”


“Nggak mau nikah, apa?” Ibunya kembali bertanya.


Perempuan itu tak merespon. Sudah berbulan-bulan ia mempertanyakan pada Tuhan, apa maksud jawaban yang ia terima berbulan-bulan lalu, jika akhirnya ditarik lagi oleh semesta.

Perempuan itu, sudah menguburkan hatinya, tanpa diketahui orangtuanya.

***

“Sekarang, di mana perempuan itu?” tanya Ipung. Ia ingin sekali bertemu perempuan itu, mengenalnya lebih dekat. 


Sayangnya, gelengan kepala Paijo membuat Ipung ber-puh kecewa. “Bapak nggak tahu di mana dia.”


“Dia sudah punya anak juga?” lagi-lagi Ipung bertanya. Rasanya masih ada banyak pertanyaan yang siap diberondong untuk Bapaknya.


Paijo—lagi-lagi—menggeleng. 


Malam itu, dada kirinya lagi-lagi terasa sakit. Seperti ada yang patah di dalam sana.

***

Nun jauh di seberang pulau, seorang perempuan menatap sabit yang menggantung di langit. Seberkas cahaya gemintang berkerlip. Malam itu, sama seperti malam berpuluh-puluh tahun lalu. Ia hampir lupa rasanya utuh dan bahagia. Dalam sembab ingatannya, ia paksakan untuk mengingat lanskap kenangan yang dimilikinya berpuluh tahun lalu; tentang jawaban dari segala doa-doa panjangnya. 


Dari jendela kamarnya, perempuan itu menikmati semilir angin malam. Sesekali dirasakannya sudut matanya basah. Kekecewaannya waktu itu, membuatnya menyayat dada kirinya. Dikeluarkannya hati itu dari sana, dikuburkannya dalam-dalam di suatu tempat yang jauh. Lalu dengan tergesa, ia jahit lagi dada itu hingga rapat. Peristiwa ini tak pernah diketahui orangtuanya. 


Hingga kini, jika ingatannya segar mengkaji sosok lelaki itu, dada kirinya kembali terasa ngilu. Bekas jahitan itu seolah berdarah lagi.


Suara derit pintu terbuka memecah sunyi malam itu. Dari balik pintu, seorang lelaki tua mengintip ke dalam kamar. Dilihatnya anak perempuannya duduk di tempat biasa—menghadap jendela, menopang dagu. Ia merasakan lagi penyesalan mendalam di hatinya. Anaknya tak pernah membantah perkataannya, yang ternyata telah menghancurkan hati anak perempuan itu tanpa disadarinya. 


Seketika di pipi lelaki tua itu, menganak sungai air mata. Sungguh penyesalan itu tak pernah bisa ditebusnya. Ia baru saja akan balik kanan meninggalkan putrinya, saat matanya menangkap darah segar yang mengalir di lantai—tepat di sekitar anaknya duduk. 


Bau anyir darah kian memenuhi ruangan. Dalam keremangan malam, lelaki tua itu dapat melihat dengan jelas warna merah kehitaman yang menggenangi lantai. Tangannya mendobrak pintu cekatan. 


BRUUKKK!!


Tubuh perempuan itu ambruk.


Sabit masih tersenyum di luar sana. Seisi rumah berkabung duka.

Post a Comment

2 Comments

  1. Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
    Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
    Link Alternatif :
    arena-domino.club
    arena-domino.vip
    100% Memuaskan ^-^

    ReplyDelete
  2. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.cc
    dewa-lotto.vip

    ReplyDelete