Kenangan Tentang Sebuah Malam




Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 wib. Detik yang berdentang rasanya teramat lantang, menuntun perpisahan kembali datang. Waktu berlalu begitu saja. Sepanjang malam, usai suara motormu menghilang di balik tikungan jalan ujung rumahku, dengan gelisah kunanti pagi. Berharap dalam lelap kaulah yang menjelma dengan indah. Rasanya tak rela semenit saja berteman dengan jarak, sebab rindu tak pernah mengajariku makna indah. Pagi menjelang siang aku kian resah, tak sabar ingin bertemu malam agar dapat kutatap kedua mata teduhmu. Dan sepanjang sore, ketika senja membentuk siluet-siluet gedung pencakar langit, pohon-pohon tinggi, tiang listrik, dan seluruh bangunan yang menyesaki kota, dadaku kian sakit disesaki rindu. Tinggal beberapa menit, dan aku akan kembali melihatmu. 

Sepanjang malam yang kuhabiskan denganmu, setiap detiknya, begitu menyenangkan--sekaligus memilukan. Kau buatku tertawa, aku menceritakan hal remeh-temeh, kau mengangguk yakin, aku tersenyum, kau menggenggam tanganku. Semua hal itu menyenangkan--sekaligus memilukan. Sebab setelah malam ini berlalu, waktu-waktu yang akan kuhabiskan denganmu akan berkurang--dengan pasti. 

Dalam tiap doaku bahkan dipenuhi kebingungan, barangkali Tuhan pun bingung harus mengaminkan yang mana. Aku berdoa agar kembali dipertemukan dengan malam, kembali menjalani kebersamaan denganmu, kembali menikmati kupu-kupu yang berterbangan di perutku ketika kita bersama. Atau, kudoakan agar tidak usah bertemu dengan malam, waktu siang diperpanjang, agar perpisahan itu tak menjadi nyata?

Sehari yang kulalui denganmu penuh bahagia, harus kubayar dengan sehari perpisahan paling nyata.

Aku pernah membayangkanmu mengenakan setelah jas dongker, dengan kemeja putih di dalamnya, dan dasi senada dengan jasmu. Kau tersenyum penuh bahagia, menatapku dengan teduh, dan kita tertawa bersama. Kau pasti terlihat tampan--dan gagah mungkin. Aku akan menjadi yang paling bahagia--dan sendu. Segala hal tentangmu, meski hanya dibayangkan, selalu terlihat indah. Sayangnya....... 
Malam setelah kau pergi dari rumahku, aku harus menyadari bahwa bukan aku yang akan berdiri di sampingmu dan memandangimu dengan penuh cinta saat kau mengenakan setelan jas itu. Bukan tanganku yang akan kaugenggam. Bukan pula aku yang akan kau buat tertawa. Bukan, tentu bukan aku. Aku tidak akan ada di sana saat kau di posisi itu, dan kau tidak akan ada di sini--ketika aku mengenakan gaun dongker ini. 

"Di dunia ini, ada orang-orang yang diciptakan begitu serasi dalam banyak hal, begitu mengerti untuk banyak  situasi, begitu melengkapi untuk banyak kekurangan. Dalam jalan kehidupan, mereka dipertemukan, tetapi tidak dengan jalan takdir mereka," kataku, malam itu.

"Lalu?" tanyamu.

"Bagaimana jika mereka itu kita?" 

"Berarti jalan masing-masing."

Jawabanmu menyelesaikan percakapan malam itu. Aku pulang dengan hati berdarah, kau lengang tanpa beban. 

Kau mungkin akan melupakanku dengan cepat, dan aku akan bersama yang lain secepat itu pula. Tetapi siapa yang tahu? Bagaimana jika hatiku tak pernah di sini untuk seperempat abad? Bagaimana jika masih kumimpikan tentangmu? Bagaimana jika hanya kau yang mengerti ribetnya isi kepalaku ini?

***

Sudah pagi. 
Tadi malam aku bermimpi banyak hal, tentang kejadian di masa lampau--tentang seorang lelaki yang pernah sangat membuatku bahagia. Rasanya sudah sangat jauh dari ingatan, tetapi mimpi tadi malam benar-benar menyesakkan dada. Bahkan sampai sekarang, rindu selalu menyakitkan.

"Ma, siap-siap ya," ucap seorang perempuan usia dua puluhan tahun yang mengenakan gaun pengantinnya. 

Aku menganggu. Pelan-pelan beranjak dari kasur. 
Seketika ingatanku ditarik lorong waktu, menyusuri kejadian lama yang begitu memilukan.

Ada seorang lelaki yang pernah membuatku begitu bahagia. Pada malam itu, ia bertanya dengan sungguh-sungguh, "Kau akan memilih yang mana? Lelaki pilihanmu atau lelaki pilihan ibumu?"

Dan aku hanya diam. 
Aku tahu maksud dari pertanyaannya, dia pun paham makna dari diamku. Setelah malam itu, kami sama-sama tahu, kebersamaan yang kami lalui sejak malam itu hingga waktu yang telah ditentukan hanya mempunyai dua tujuan; pertama, menyakiti diri masing-masing. Kedua, mengantarkan diri kami ke sebuah persimpangan, dan melambaikan tangan setelah--kami berjalan masing-masing.

Post a Comment

0 Comments