Kau Serupa Dongeng, Aku Hidup Dalam Dunia Nyata



Jika aku diciptakan dengan keangkuhan dan kebimbangan, maka kau selayaknya sahaja tiada batas--diciptakan dengan kehangatan dan harapan. Sebab kau tahu bagaimana memekarkan segala harap yang sempat kubakar habis hingga tunas terdalamnya.

Jika kau dan aku telah bersepakat bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini, lalu bagaimana harus kujelaskan segala kebetulan yang terjadi di antara kita? Seperti pertemuan kita yang berulang kali terjadi tanpa sengaja, meski ketika aku mengharapkannya? Kau tahu, harus kukatakan bahwa keputusanku untuk datang ke tempat itu--tempat di mana pertama kali aku menemukanmu--adalah keputusan terbaik yang pernah kubuat. Meski segala kenangan dan waktu-waktu setelah pertemuan itu, harus kubayar dengan rasa sakit seumur hidup, rindu sepanjang masa.

Bagaimana aku tidak jatuh hati? Kau serupa mentari sehabis gigil di pagi hari; kunanti hangatnya sepanjang malam dengan penuh rindu. Layaknya pelangi sehabis hujan di sore hari; bahkan setelah hujan yang kucintai berlalu, kau masih berwujud keindahan yang tenang. Selaksa senja di Yogyakarta; kutunggu hadirnya dengan tabah. 
Kau serupa nyata dalam dongeng-dongeng masa kecilku. Lalu bagaimana aku tidak terkagum pada segala hal tentangmu?

Kau tidak hanya terangkum dalam kitab dongeng masa kecilku. Bahkan dalam kitab ilmu pengetahuan yang kubaca semasa sekolah, kau menyaru di antara paragraf berilmu. Aku menemukan dunia luas di dalam kepalamu--dan negeri imajinasi di dadamu. 

Tapi, di suatu pagi yang dingin, ketika aku terbangun, aku tahu, aku sedang hidup di dunia nyata; bukan dongeng yang kumimpikan sejak kecil. Maka bersamamu hanyalah sebatas doa yang tak pernah menuai amin dari Yang-Maha-Kuasa. Sejak pagi itu, aku tak pernah lagi menantikan mentari, tak pernah lagi menatap hujan, apalagi menanti senja di Yogyakarta. Aku tidak sanggup, dan tidak berani. 

Dan lagi-lagi, pada hari itu--hari di mana kupastikan untuk berhenti mengikuti langkahmu, ketika langit menguning dengan pasti di hadapanku, siluetmu tampak menyapa dengan senyum sahaja yang sama. Kita bersepakat tidak ada kebetulan di dunia ini, lalu, bagaimana harus kujelaskan pertemuan ini?

Kau selalu hangat. Lagi-lagi membangun mimpi yang telah karam. Dan aku tak bisa mencegah bunga-bunga yang mekar dalam diam di dada. Sore itu, kau bersamai langkahku menyusuri segala imajinasi dongeng masa kecilku. Maka sepakat adalah apa yang kita aminkan bersama; untuk mengukir kenangan, untuk membangun mimpi yang pernah padam. Begini saja, berada di sisimu, meski bukan sesiapa, sudah membuatku senang. 

*

Aku sedang hidup di dunia nyata, dengan kenyataan hidup yang nyata, pun permasalahan yang ada. Kau adalah dongeng terindah yang pernah kumiliki, mimpi fantastis yang pernah hadir. Langkahmu seluas dunia, semestaku sebatas dalam dirimu. Seperti katamu, di dunia ini tidak ada kebetulan. Segalanya telah direncanakan, telah diatur. Maka beginilah barangkali rencana dari segala kebetulan dalam semestaku tentang dirimu; bahwa aku harus membedakan mana yang nyata, mana yang fiksi belaka. 

Malam itu, menjadi senyum terakhirmu yang kusimpan dalam lanskap kenangan. Tawa renyahmu kubiarkan menguap dalam hiruk-pikuk perpisahan yang mengharu-biru di bandara. Dalam diam kita melangkah berlawanan, agar langkahku tidak merindukan derapmu. Kelak tak akan kucari keberadaanmu. 

Aku sedang hidup di dunia nyata, kau sebatas dongeng merealita. 'Kita' hanya sebatas angan yang tak mungkin.

Post a Comment

0 Comments