Si Kodok mengerjap-ngerjapkan matanya. Kepalanya masih terasa sakit. Pandangannya masih gelap, dan perlahan semakin jelas. Ia memandangi langit-langit yang berwarna cokelat gelap—lebih tepatnya tanah. Dari cahaya yang remang-remang, Si Kodok dapat melihat sekitar. Ia yakin sekali dirinya ada di dalam lorong bawah tanah. Tapi, tempat siapa ini?

“Liliput sialan!” Maki Si Kodok terhadap Kathleen. Ia menyalahkan liliput itu dalam hal ini. Rasanya ia sangat menyesal telah membuat kesepakatan dengan Kathleen, karena hidupnya jadi susah semenjak bertemu dengannya—meski baru beberapa jam terakhir.

“Kau merindukanku?! Ahahahah.” Tawa Kathleen pecah.

Si Kodok terkejut saat menyadari Kathleen muncul tiba-tiba. “Kau benar-benar membuat hidupku susah!” Si Kodok mengibaskan tangannya—hampir mengenai Kathleen. “Di mana kita?”

“Di lorong rahasia yang dibangun Hompa dan Lompa,” jawab Kathleen.

“Halo..” ucap Lompa yang sibuk memandangi Si Kodok.

Sesuatu melompat dari suatu arah, lalu mendarat dengan indah di atas meja tempat Si Kodok berbaring.

BRUKK!!

Segalanya menjadi berantakan.

“Hai! Aku Hompa,” sahut sosok yang mengaku sebagai Hompa.

Si Kodok memandangi mereka dengan heran. “Kalian ini apa?”

Hompa dan Lomba adalah si kembar yang bertubuh pendek, memiliki kuping yang meruncing di bagian atasnya, dan mereka memakai topi penyihir. Hompa dan Lompa tampak sangat bersahabat dan menyenangkan, seperti Kathleen. Tentu saja ini menjadi hal buruk untuk Si Kodok yang sangat membenci keceriaan.

“Kami peri tanah, dan kamilah yang membangun lorong rahasia ini. Di dalam lorong ini, kalian tidak perlu takut bahaya kabut, karena kabut itu tak pernah bisa mencapai lorong buatan kami.” Hompa menjelaskan kepada Si Kodok.

“Peri tanah?” Si Kodok mengulangi kata-katanya.

“Jadi, mereka ini peri yang merawat tanah, Bodoh!” sahut Kathleen menyambar ucapan Si Kodok. “Mereka yang menjaga kesuburan tanah dan akar tanaman.” Ia melipat kedua tangannya, memasang wajah penuh kemenangan karena pengetahuannya.

“Bukan itu yang kumaksud, Liliput Sialan! Apa yang dilakukan peri tanah jika Penyihir Labu pun bisa melakukan perusakan di segala hal?” Si Kodok yang merasa tersinggung, berucap dengan geram.

“Ah, apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Lompa.

“Kami mencari Penyihir Labu. Nenek tua itu sudah membuatku jadi seperti ini. Awas saja kalau kami bertemu nanti,” jawab Kathleen berapi-api. Tangannya terkepal ke udara, mengisyaratkan tentang keinginannya membalas dendam kepada penyihir itu.

Hompa dan Lompa saling pandang satu sama lain. Tibat-tiba saja mereka tersenyum lebar. Seolah berhasil menemukan sesuatu yang besar. “Bagaimana cara kalian menemukannya?”

“Liliput kecil ini tahu di mana keberadaan Penyihir Labu.” Si Kodok menjawab dengan enggan, seraya melirik tajam ke arah Kathleen.

Kathleen menelan ludah. “Ya, aku tahu jalannya.”

“Oh, kami akan mengantar kalian hingga bertemu Penyihir Labu.” Hompa menawarkan bantuan.

“Ha! Aku tak butuh bantuan dari siapa pun. Sudah cukup liliput itu saja yang menyusahkan hidupku. Aku tak mau kalian juga membuat hidupku semakin susah!” Si Kodok memalingkan wajahnya, bersikap acuh tak acuh. “Liliput, ayo kita pergi!”

“Namaku Kathleen!”

“Terserah!”

Kathleen berbisik-bisik pada Hompa dan Lompa. “Maafkan dia. Dia memang seperti itu, angkuh. Tapi sebenarnya dia sangat lemah. Terima kasih untuk tawarannya, aku senang sekali jika kalian ikut.”

“Aku mendengar apa yang kau katakan!”

Kathleen menggaruk-garuk kepalanya meski tidak gatal. Ia mengisyaratkan kepada Hompa dan Lompa untuk ikut. “Lakukan penawaran. Dia tak mengenal lorong ini. Lakukan penawaran!” bisik Kathleen dengan suara yang lebih pelan, lalu ia naik ke tubuh Si Kodok.

“Kau tidak bisa keluar, atau kau akan mati dalam kabut,” ucap Lompa.

“Ya, kau membutuhkan kami jika kau mau melewati lorong, karena cuma kami yang mengenal lorong ini.” Hompa menimpali ucapan saudara kembarnya.

Si Kodok merasa kesal. Ia mengerang geram. Benar-benar menyebalkan saat ia harus mengakui bahwa ia membutuhkan pertolongan dari Si Kembar Hompa dan Lompa, yang berarti, sepasang makhluk kembar itu akan ikut bersamanya.

“Sudahlah, kau memang membutuhkan mereka..” Kathleen dengan santai menyandarkan tubuhnya di atas kepala Si Kodok.

“Pasti ini semua ulahmu!” Si Kodok mendengus.

Kathleen senyum-senyum jahil. “Sudah kubilang, jangan terlalu angkuh. Kau benar-benar mudah sekali tersinggung. Pantas saja kau tidak bisa berteman dengan makhluk lain.” Ia menggoyangkan kakinya bergantian.

KREEKK!! KREEKK!!

Suara dinding retak—seperti pintu yang sedang dirusak—membuat Si Kodok, Kathleen, Si Kembar Hompa-Lompa terkesiap. Mereka melihat ke sana-sini, mencari sumber suara.

Selanjutnya suara tanah yang dirusak paksa dan tanaman-tanaman yang dicabut lalu dihantam ke tanah. Semua bunyi gaduh itu terdengar semakin dekat. Sesuatu yang bahaya sedang mengancam mereka.

“Ayolah, kita harus segera pergi! Lorong ini akan hancur!” Lompa berguling—cara peri tanah bergerak—di tanah dan mulai menghilang di balik kegelapan lorong.

Hompa panik, namun ia menunggu Si Kodok dan Kathleen. “Cepatlah! Sudah tak ada waktu!”

Tanah mulai retak dan jatuh menutupi lorong. Si Kodok masih menatap tanah yang runtuh di belakangnya, dan si Hompa yang daritadi menawarkan bantuan padanya.

“KAU INI MASIH SAJA EGOIS!!” Kathleen membentak. Ia tak siap jika harus mati saat itu.

Dengan berat hati, Si Kodok pun akhirnya setuju untuk mengikuti Hompa-Lompa dan menerima bantuan dari mereka. Ia meloncat dengan cepat, dan Hompa melengkung membentuk bola dan berguling di tanah.

Kathleen melirik ke belakang. Runtuhan tanah semakin besar. Lorong sudah tertutupi, hanya Hompa dan Lompa yang menjadi harapannya akan membawa mereka keluar ke pintu yang lain.

Semakin dekat! Reruntuhan itu bergerak jauh lebih cepat dari gerakan Si Kodok. Lompa sudah menunggu di persimpangan terowongan, pun Hompa sudah berada di sana.

“Cepaattt!!” Hompa berteriak. Suaranya menggema ke seluruh lorong. Tanah semakin bergetar dan keruntuhan semakin cepat merambat.

“Dasar bodoh!” Si Kodok menggerutu.

Tanah di persimpangan lorong ikut bergetar. Sedikit demi sedikit tanah di persimpangan lorong berjatuhan. Persimpangan akan runtuh dan tertutup. Si Kodok masih terus meloncat, berusaha mencapai persimpangan secepat yang ia bisa.

Loncatan terakhir, Si Kodok berhasil tiba di persimpangan. Sayangnya Kathleen terjatuh saat Si Kodok mengambil loncatan jauh.

Kathleen tertimpa gumpalan tanah yang runtuh sedikit demi sedikit. Ia berusaha melindungi tubuhnya. “Tolong aku!!”

Si Kodok benci harus menyelamatkan seseorang, apalagi hal itu mempertaruhkan nyawanya. Tapi ia membutuhkan liliput itu untuk menuntunnya menuju Penyihir Labu. Otaknya masih tak bisa menerima jika ia harus menyelamatkan Kathleen.

Persimpangan lorong mulai runtuh. Salah satu jalannya sudah tertutup. Tinggal satu jalan yang sebenarnya Hompa-Lompa sendiri tahu ada bahaya di ujung jalan itu.

“Bertahanlah!” Si Kodok akhirnya kembali, menyelamatkan Kathleen.

Reruntuhan sudah menunggu di belakang Kathleen.


bersambung...

Nb : Cerita ini dibuat untuk  memenuhi persyaratan dari Kak Cunul, biar dikasih ikut ke Sibuaten. Kodok brewok = dirinya sendiri.