Surat Yang Tak Pernah Terkirim



Demi mimpi, yang pernah menguap dan lenyap…
Lalu kau datang bagaikan mendung, yang menampung semua uap mimpi yang melayang entah ke mana. Mendung, yang tak pernah menurunkan hujan. Mendung, yang hanya memberi keteduhan. Rasanya baru kemarin, baru kemarin masa-masa menyakitkan itu datang. Baru kemarin kita bertemu. Baru kemarin rasanya aku jatuh cinta. Dan baru kemarin juga, semua harapan itu kembali menguap, lenyap.
Hari ini aku mendapat gelar mahasiswa terbaik, Kak. Harusnya aku senang, kan? Tapi aku merasa hambar. Rasa-rasanya aku nggak punya tempat untuk meletakkan penghargaan itu. Aku nggak punya rumah itu lagi. Harusnya aku melupakanmu, harusnya. Tapi semua prestasi ini hanya mengingatkanku padamu, Kak. Dan nggak mungkin aku berhenti melakukan yang terbaik, itu juga akan menghancurkan hidupku lagi. Jika aku hancur untuk kedua kalinya, aku nggak tahu siapa yang akan menolongku kali ini. Nggak akan ada malaikat itu lagi, Kak. Nggak akan ada yang menolong aku dan Nicko.
Nicko sekarang sedang persiapan ujian akhir SMA. Akselerasi. Anak itu memang selalu membanggakanku. Aku berjanji nggak akan meninggalkannya. Aku ingin tetap menjadi rumah baginya. Itu yang dibutuhkannya saat ini. Dan sekarang, dia jatuh cinta dengan seorang gadis Aussie. Lihat? Dia bahkan lebih cepat mengalami perasaan itu daripada aku. Ya, perasaan yang mungkin sampai saat ini masih terkubur jauh di hatiku. Terkubur, bukan hilang.
Terkadang, saat sabit melengkung di langit, aku teringat akan senyummu. Dan ketika purnama datang, keteduhan itu mengingatkanku pada tatapanmu, Kak. Lihatlah betapa banyak hal yang membuatku teringat padamu. Mungkin aku hanya rindu.
Kak Chrissy tidak pernah mengeluhkan apa pun lagi padaku. Ia bercerita dengan senang hati tentang pertumbuhan Daisy-kecil, bertanya tentang kuliahku, memperhatikan Nicko. Aku sungguh tak berharap apa pun lagi darimu. Bahkan aku tak pernah bertanya tentangmu saat malam-malam chattingan bersama Kak Chrissy. Daisy-kecil sekarang sudah sekolah, kan? Dia sangat cantik. Dia memiliki wajah ibunya. Dan mata itu, mata itu persis seperti yang kaupunya, Kak.
Aku senang, aku teramat senang melihat keluargamu baik-baik saja dan bahagia, sekarang. Aku selalu berdoa seterusnya kalian akan begitu. Tapi kali ini, entah mengapa, aku merasa teramat merindukanmu. Sudah dua tahun sejak kejadian itu. Aku pun sudah bersiap melanjutkan pendidikan S3-ku.
Entahlah, entah aku merindukanmu atau merindukan ibu. Satu-satunya yang kumiliki setelah perceraian itu hanya kau, Kak. Setiap aku teringat ibu, selanjutnya aku pun akan mengingatmu. Nggak. Pikiran itu nggak pernah datang saat siang-siang terik. Aku punya banyak kegiatan dan pekerjaan yang mengalihkan pikiranku. Tapi saat malam-malam datang, sepi, senyap, aku teringat semua hal itu lagi, Kak.
Terkadang aku bertanya sendiri, Kak. Sebenarnya untuk apa aku jauh-jauh ke negeri orang seperti ini? Dan saat menatap Nicko, aku tahu. Aku tahu kalau ini hanya untuk mimpi yang pernah menguap dan lenyap. Demi mimpi-mimpi yang telah kau kumpulkan untukku lagi.
Kak, pernahkah kau mengunjungi pusara ibuku, lagi?

Post a Comment

0 Comments