Sepotong Kisah Tentang Luka


              Aku mencintainya tanpa tanya mengapa, meski luka selalu saja tertoreh dalam tiap kisahnya. Aku menyayanginya tanpa jawab karena, walau sakit terus saja menghunjam dalam tiap perjuangan.
              “Aku mencintaimu…” bisik seorang lelaki yang saat ini bersamaku. Ia mengecup pundakku dengan mesra.
Aku membalasnya dengan senyum. “Aku tahu,” sahutku singkat.
“Dua bulan lagi aku akan mengalamarmu. Aku selalu berharap kau menjadi istriku.” Senyum teduhnya mengembang. Ia mengusap pipiku. Namun, ia tak pernah tahu nyeri yang kurasakan di hati tiap kali ia mengatakan tentang kesungguhannya padaku.
“Terima kasih.” Aku menelan ludah yang terasa amat menyakitkan ketika melewati tenggorokan.
Mungkin, bagimu yang pernah disakiti, menemukan orang seperti Adrian adalah hal yang sangat sempurna. Iya, harusnya begitu pula denganku. Tapi menemukan kesungguhan pada orang sebaik Adrian, membuatku terjerembab dalam luka masa lalu.
Aku pernah memiliki kesungguhan yang sama seperti Adrian. Dulu, saat aku mencintai seorang pemuda yang kuperjuangkan untuk semua rasaku. Yang kupertahankan meski menguras sakit di hatiku. Pemuda, yang kutahu sampai saat ini kami masih saling mencintai.
****
                Harusnya hari ini menjadi hari yang paling istimewa. Anniversary 4 tahun hubunganku dengan Raffa. Namun seperti biasa, ia selalu sibuk dengan teman-temannya dan aku selalu menjadi nomer sekian di hidupnya.
                “Kapan kau bisa menjadikanku yang pertama di hidupmu? Kapan aku bisa menempati posisi terpenting di hidupmu seperti teman-temanmu?” tanyaku pada Raffa.
                Pemuda itu menunduk. Ia tak berani menatapku. Hanya desah napasnya yang meragu, yang kurasa sebagai jawaban secara tak langsung yang diberikannya padaku. “Empat atau tiga tahun lagi,” jawabnya singkat.
                Empat atau tiga tahun lagi? Itu waktu yang seharusnya ia gunakan untuk melamarku. Itu artinya, aku penting hanya ketika aku sudah menjadi hal yang paling dibutuhkannya. Aku dibutuhkan hanya ketika ia merasa segala hal di hidupnya empat tahun lagi hanya bisa dipenuhi olehku, bukan oleh temannya.
                “Selama itu? Kenapa?” Ini bukan kali pertama kekecewaanku pada Raffa. Bukan pertengkaran pertama, dan bukan pula tangisan pertamaku untuknya. Jujur, aku lelah menjalani hubungan dengannya. Mungkin lebih tepatnya, hatiku lelah terus-terusan disakiti dan dikecewakan.
                Raffa menggeleng. “Nggak tahu. Tapi memang mereka juga penting untukku.”
                Aku menghela napas panjang. “Padahal, kalau kau tidak bersamaku nantinya, kau bisa kapan saja kembali pada temanmu. Padahal, dalam keadaan apa pun, aku selalu ada untukmu.”
                Hening. Satu hal yang selalu aku tahu dari perbincangan seperti ini adalah, aku harus mengalah dan harus berlapang dada. Pembicaraan ini hanya menyakiti hatiku. Harusnya aku tak mengulangi perbincangan ini berkali-kali seperti biasanya. Tapi, aku tak bisa diam jika ada masalah di hubunganku. Walaupun aku tahu, dibicarakan pun tak membuahkan hasil.
****
                Kebaya putih jahitan ibu sangat cocok denganku. Tubuhku yang langsing tampak semakin indah berbalutkan kebaya ini. Rambutku digelung dengan rapi. Polesan make-up tipis membuat wajahku semakin merona.
                “Duh, adikku makin cantik aja,” puji Kak Tyo yang baru muncul. “Bentar lagi udah jadi istri orang nih. Nggak bisa meluk kamu lagi deh. Soalnya ada saingan. Hahaha..” Ia mendekat dan memelukku.
                “Makasih, Kak,” ucapku lirih dalam pelukannya.
                Kak Tyo mengusap punggungku. “Kau tahu, ini yang terbaik untukmu. Keluarganya sudah datang. Sebaiknya kau secepatnya keluar.” Ia melepaskan pelukan dan menatapku lekat. “Tuhan tahu apa yang kau butuhkan. Meski ada hal yang kau inginkan.”
                Aku mengangguk. Lalu Kak Tyo meninggalkanku di kamar.
                Hari ini keluarga Adrian datang melamarku. Harusnya aku senang. Ini yang paling kuimpikan dalam hidupku. Ada seorang lelaki yang bersungguh-sungguh mencintaiku. Cinta itu tindakan. Dan lamaran ini adalah bukti kalau ia mencintaiku. Tapi ingatanku masih berisikan tentang Raffa. Tentang mimpi yang seharusnya—saat ini keluarga Raffa yang datang melamarku.
                Sepanjang pembicaraan keluargaku dan keluarga Adrian, aku tak mendengarkan sedikit pun. Aku hanya tertunduk dan menikmati proyeksi kenanganku dengan Raffa.
                Adrian yang sejak tadi memperhatikanku, memilih pindah ke sampingku dan meremas tanganku. “Aku tahu yang kamu pikirkan. Maaf, aku terlalu mencintaimu,” bisik Adrian.
                “Kamu nggak salah, kok.” Lalu aku tersenyum.
                Ya, Adrian tidak salah. Dia hanya mencintaiku dengan tindakannya. Cinta itu tindakan dan sudah seharusnya seperti ini. Mungkin Raffalah yang tak bisa mencintaiku dengan cara seperti ini. Dia hanya berkata dia mencintaiku tanpa bisa menjadikanku hal terpenting di hidupnya.
                Adrian menyematkan cincin tunangan ke jari manisku. Di saat yang bersamaan, hatiku bergetar. Bukan, bukan karena aku teringat Raffa atau aku bersedih. Aku senang, karena Adrian sebentar lagi akan menjadi suamiku. Tapi, aku harus menerima kenyataan bahwa jarakku dengan Raffa semakin jauh. Jauh dan sangat sulit dijangkau.
****
                “Saya terima nikah dan kawinnya…..”
                Semua kalimat itu kian samar di telingaku. Pelupuk mataku semakin berat, dibajiri butir air mata yang siap jatuh kapan saja. Setelah ini, aku harus membuang segala hal tentang Raffa. Entah bisa atau tidak, tapi aku harus. Raffa semakin jauh dari jangkauanku. Aku akan menjadi istri Adrian setelah ia menamatkan kalimatnya. Dan Raffa, akan tertinggal di masa lalu.
                Terkadang, beberapa hal harus ditinggalkan demi kebaikan diri sendiri. Entah ini untuk kebaikanku, atau hanya aku yang tak sanggup melukai hati Adrian saat lamaran kemarin. Bisa saja aku menolak, dan aku kembali pada Raffa. Tapi tidak kulakukan. Adrian sudah sangat baik dan sangat mencintaiku. Apalagi yang kurang?
                Seseorang yang membohongimu lebih dari dua kali, percayalah seterusnya ia akan melakukan kebohongan. Entah untuk membenarkan sesuatu hal, atau hanya untuk menyelamatkan dirinya. Raffa berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Kupikir, bertahan selama apa pun, ia akan tetap seperti itu. Jika pun Raffa berubah, itu hanya berlaku untuk orang baru di hidupnya nanti, bukan untukku lagi.
                “Aku akan menunggumu. Kalau nanti kau dan Adrian tidak jadi menikah, aku yang akan menikahimu..”
                Sekilas ucapan Raffa terkenang di ingatanku. Begitu manis, namun aku tak bisa meninggalkan Adrian.
                “Sah!!” ucap para saksi seirama.
                Sah sudah aku menjadi istri Adrian. Segala tentang Raffa kutenggelamkan dalam cintaku yang tak tersampaikan.
                Kau tahu? Kau sering mendengar istilah cinta tak harus memiliki. Hakikatnya bukanlah kita mencintai seseorang namun orang itu mencintai orang lain dan hidup bersama orang yang dicintainya. Sesungguhnya, cinta tak harus memiliki ada dalam kisahku. Kau dan dia saling mencintai, tetapi kau sadar kalau kau tak bisa bersamanya. Apa pun alasannya, dia hanya cinta yang kau pendam dalam hati.


Note : cerpen ini ditulis dan dipublish tanpa proses edit dan diposting dalam rangka nananina. silahkan dikomen :)

Post a Comment

0 Comments