Someday, When We Talk About Love..




            “Kau mau menceritakan kisahnya?” tanya Katya, gadis reporter yang saat itu sedang beristirahat dari pekerjaannya.
            Katya baru saja mengenal wanita paruh baya itu beberapa menit lalu. Mereka sudah sangat akrab meski baru beberapa menit. Dan wanita itu ingin menceritakan kisahnya pada Katya.
            Wanita paruh baya yang duduk di hadapan Katya menghela napas panjang. Ia tersenyum memandang lepas udara. “Kau mau mendengar kisahnya?” tanya wanita itu.
Katya mengangguk pelan.
“Baiklah, aku akan menceritakannya.” Ia berdehem pelan, lalu melanjutkan kalimatnya. “Ini kisah tentang suatu hari. Ya, suatu hari yang penuh mimpi, lalu menjadi bagian dari mimpi. Kau tahu mimpi, Anak Muda?”
            “Mimpi ketika tidur?” tanya Katya seraya mengernyitkan dahinya.
            “Iya, mimpi ketika tidur. Mimpi yang hampir tak pernah menjadi nyata. Hampir ya, bukan berarti tidak mungkin,” ucap wanita paruh baya tadi penuh senyum. “Jadi, suatu hari, aku dan dia pernah berbincang tentang cinta. Aku dan dia, ya, kami. Suatu hari aku jatuh cinta, begitu pun dia. Lalu, suatu hari kemudian, kami menjauh. Dan di suatu hari yang lain, kami memperbincangkan cinta.” Ia menghela napas panjang. “Dulu, aku seorang gadis 19 tahun, dan dia seorang pemuda berusia 29 tahun.”
            “Dia 10 tahun di atasmu??” sela Katya di tengah cerita.
“Ya, dia 10 tahun di atasku. Dia lelaki dewasaku.” Mata Katya terlihat berbinar. Sepertinya ia begitu tertarik dengan cerita itu.
            “Ketika itu kami saling mengenal karena suatu pekerjaan. Aku pikir, dulu Tuhan iseng memperkenalkanku dengannya. Kupikir, setelah pekerjaanku selesai, aku pun selesai mengenalnya. Ternyata aku salah, aku bahkan salah besar telah menebak-nebak sesukaku dengan rencana-Nya.”
            “Kalian kerja apa?” Katya kembali bertanya.
            Wanita paruh baya itu tertawa kecil melihat tingkah Katya.
            “Ternyata kau ini gadis yang cerewet,” ucap wanita paruh baya tadi seraya tertawa.
            Pipi Katya memerah sekejab. Ia teringat kekasihnya yang sering  mengatakannya cerewet juga, persis seperti wanita itu.
            “Oh ya, bagaimana caraku memanggilmu, Nyonya??”
            “Panggil saja aku Dionne, Nyonya Dionne.”
            “Oh, baiklah, Nyonya Dionne,” sahut Katya dengan senyum yang mengembang. “Lanjutkan ceritanya!!”
            “Namanya Evan. Dia bekerja di Microsoft Coorporation, dengan jabatan tertinggi di sana. Dia seorang pekerja keras, aku bisa melihat itu dari perjuangannya.”
            “Bagaimana kau bisa mencintai lelaki yang jauh di atasmu?” potong Katya di sela cerita Nyonya Dionne.
            “Dulu, aku selalu mengeluh untuk segala hal, dan aku tak pernah memperjuangkan sesuatu hal yang lebih untuk masa depanku. Namun, semua berubah sekejab saja semenjak dia datang ke hidupku. Dia datang membawa tawa, kebahagiaan, dan janji masa depan yang terbaik untukku..
            “Dia datang bersama seribu mimpi yang sebelumnya tak pernah berani untuk kumimpikan. Dia membawa sejuta rasa percaya bahwa aku bisa meraih semua mimpi itu. Dia juga yang membuatku, pada saat itu, mulai berusaha, berjuang, dan melakukan yang terbaik untuk hidupku dan masa depanku..
            “Kau pernah membayangkan, seberapa besar pengaruhnya di hidupku? Kau bayangkan saja dia datang dan mengubah pandangan seorang gadis remaja yang begitu labil saat itu. Dan dia adalah satu-satunya alasanku untuk menjadi lebih, lebih dan lebih lagi. Hanya dia yang mampu melakukan itu.
            “Saat itu, Rotterdam mengalami musim dingin berkepanjangan. Namun, dia datang bagaikan musim semi. Dia menghangatkanku, memberiku keteduhan dan kenyamanan. Dia musim semi yang memekarkan tulip di musim dingin. Namun, semua menjadi berubah ketika aku mulai menyadari perasaanku untuknya. Perasaan yang awalnya hanya sebuah kekaguman gadis remaja pada seorang lelaki dewasa, saat itu memiliki nilai yang lebih. Perasaan yang jauh lebih besar dari apa yang kusadari.”
            “Kau mencintainya?” tanya Katya menebak-nebak.
            Nyonya Dionne tertawa lepas mendengar tebakan Katya. “Ya, Sayang, kau benar. Aku mencintainya. Masalahnya bukan hanya di situ. Mungkin cinta yang kurasakan akan menjadi perkara yang mudah jika hanya aku yang merasakannya, jika hanya aku yang menyimpulkannya. Tapi..”
            “Dia juga mencintaimu?” Katya kembali menebak.
            Kali ini, raut wajah Nyonya Dionne berubah. Tak ada lagi tawa, melainkan sebuah senyum miris yang tampak menyayat hati.
            “Ya, kau benar. Dia juga mencintaiku.”
            “Lalu, kalian jadian? Atau dia melamarmu dan kalian hidup bahagia selamanya? Seperti di dongeng Cinderella,” ucap Katya dengan tebakannya lagi.
            “Sayang, hidup itu tak seindah dongeng. Terkadang, harus ada yang kau batasi. Bahkan, kau juga harus bisa memilih antara kebahagiaanmu atau kebahagiaan orang yang kau sayangi.” Nyonya Dionne mengalihkan pandangannya ke arah Katya. “Boleh aku lanjutkan lagi ceritanya?”
            “Silahkan, Nyonya.”
            “Ya, kami saling mencintai. Tetapi perlu kau tahu,” kata Nyonya Dionne seraya mengangkat jari telunjuknya, “Aku ataupun dia tak pernah mengungkapkan kesimpulan itu. Kau pasti tahu, cinta itu letaknya di  sini,” katanya seraya menunjuk ke hatinya, “Jadi, kau hanya perlu berkata dari hatimu saja. Hati yang mencintaimu, pasti akan mendengarnya. Dan dia mendengarku..
            “Tapi, aku kembali pada persepsi awalku. Tuhan hanya iseng memperkenalkanku dengannya, dan saat itu, Dia kembali mempermainkan aku dan dia dengan hal yang begitu rumit. Dia sudah bertunangan, dan aku, aku sudah memiliki kekasih.”
            “Kau bisa saja memutuskan kekasihmu dan jadian dengannya,” protes Katya.
         “Tapi dia tidak mungkin membatalkan pertunangannya, bukan? Belum lagi jika mengingat pertunangan itu akan menuju pernikahan dalam waktu kurang dari seminggu,” kata Nyonya Dionne.
            “Oh..” ucap Katya dengan nada menyesal. “Maafkan aku, Nyonya.”
            Nyonya Dionne hanya tersenyum.
        “Saat itulah aku mulai memperbincangkan cinta dengannya. Waktu itu hujan sangat deras, padahal musim semi masih hangat.”
****
            Tetes air dari langit semakin deras. Gemericik air terdengar syahdu. Kelopak tulip masih mengembang di beberapa tempat. Aku dan dia berteduh di sebuah halte bus. Corak hijau melapisi tempat duduk besi yang ada di halte. Malam sudah sunyi, sudah hampir mendekati tengah malam. Tiang-tiang penyangga halte bus terdiam. Rasa dingin menjalari tubuhku saat ujung jariku menyentuh tiang yang membeku itu.
            “Kau akan datang ke pernikahanku?” tanya dia seraya menatapku.
            “Kuharap, semoga bisa,” jawabku sekenanya. Sejujurnya aku sangat tak ingin mendatangi pernikahannya.
            “Atau, maukah kau menjadi pengantin wanitanya besok? Menggantikan wanita itu?” tanyanya.
            Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Mataku yang sejak tadi memandangi titik air, segera menatap matanya setelah ia menyelesaikan pertanyaannya.
            “Kau gila!” jawabku singkat seraya mengalihkan pandanganku. “Kau jangan berkata yang tidak mungkin. Besok pernikahanmu, tak pantas kau berharap wanita itu akan digantikan oleh wanita lain.”
            “Tapi, aku mencintaimu,” ucapnya berusaha membenarkan pertanyaannya tadi.
            “Aku jauh lebih dulu mencintaimu, bahkan sebelum aku menyadarinya!! Tapi apa kau sadar?! Cinta takkan bisa menjadi alasan logis untuk membatalkan pernikahanmu besok. Kau sudah merencanakan hal ini sejak dua tahun lalu. Dan sekarang kau akan datang ke hadapan keluarganya hanya untuk membatalkan pernikahanmu karena gadis remaja sepertiku? Kau ingin membuat mereka berpikir bahwa kau gila?” protesku panjang lebar.
            Sejenak keadaan menjadi hening. Aku dan dia terdiam. Hanya ada suara gemericik air dan nyanyian kodok yang terdengar sedang bahagia.
            “Lalu, apa maumu?”
            Detik-detik pertama, aku ingin membenarkan pertanyaannya tadi. Menggantikan wanita itu di pernikahan besok. Detik selanjutnya, aku berpikir bukan seharusnya seperti itu.
            “Menikahlah dengannya. Kau juga pernah mencintainya. Semoga kau bahagia. Aku akan datang ke pernikahanmu, sebagai tanda bahwa aku mengikhlaskanmu dengannya,” ucapku seraya menundukkan kepalaku.
            “Bagaimana dengan cintamu ke aku? Bagaimana cinta aku dan kau?”
            “Aku ataupun kau tak perlu menyimpulkan rasa apapun yang ada di hati kita. Suatu saat nanti, ketika kita memperbincangkan cinta, kita akan memperbincangkan seseorang yang ada di hidup kita. Kau akan memperbincangkan wanita itu, dan aku akan memperbincangkan pemuda itu.”
            Someday, when we talk about love..
            Dia menutup perbincangan malam itu.
****
            “Jadi, kau menikah dengan kekasihmu itu?” tanya Katya.
            “Ya, begitulah. Ingatlah, Sayang, keputusan yang kau ambil akan menentukan bagaimana ke depannya,” jawab Nyonya Dionne.
            “Lalu, apakah kau masih mencintainya?”
            Nyonya Dionne tersenyum kecil. “Menurutmu?”
            Katya mengernyitkan dahinya. Katya tak mengerti dengan pertanyaan Nyonya Dionne.
       “Menurutku? Hhmm,” Katya berdehem pelan. “Siapa wanita yang menikah dengan lelaki dewasamu?”
            “Kakak kandungku,” jawab Nyonya Dionne dengan senyum tulus.
        “Kakak kandungmu?! Lalu, siapa pemuda yang menikah denganmu?” tanya Katya yang semakin bingung.
            “Adik kandung lelaki dewasaku,” jawabnya lagi.
            “Jadi?!!” Katya terlonjak ketika mendengar pernyataan Nyonya Dionne.
            Someday, when you talk about love with him. Kau bisa memikirkan bagaimana kau akan memperbincangkan cintamu dengan orang yang kau cintai suatu hari nanti.”
Nyonya Dionne hanya tersenyum penuh arti.

Post a Comment

0 Comments