Lelaki Itu,



                Lelaki itu datang ke hidupku. Langkahnya hanya hitungan hari terangkai bulan. Ya, hanya hitungan bulan aku mengenalnya dan dia begitu lihai memainkan hidupku. Mengubah steer tujuanku. Mengubah cara pandangku. Dan mengubah kebiasaanku.
                Lelaki itu seperti sajak pada malam sepiku. Ya,pada malam itu ia memainkan sajak yang begitu mempesonaku. Meruntutkan kata yang membuatku berdecak kagum. Ia seperti sajak yang dikirimkan Tuhan untukku.
                “Kamu bisa kok jadi seperti itu. Kamu bisa menghandle hal-hal yang seperti itu. Aku percaya kamu mampu melakukan itu, bahkan lebih dari itu,” ucapnya ketika berangan jauh tentangku.
                Aku hanya bisa tersenyum mendengar suara di seberang sana. Aku tak percaya, bukan pada ucapannya. Hanya saja aku tak percaya pada diriku sendiri. Aku tak yakin bisa melakukan semua angan-angannya itu.
                Lelaki itu seperti tahu apa yang aku inginkan. Dan dia jauh lebih berani dari aku. Dia berani memimpikan hal besar itu untukku, yang pada kenyataannya sendiri aku belum berani membayangkan startnya. Apalagi membayangkan perjalanan menuju finish. Tapi, lelaki itu telah membayangku 5 meter di belakang finish. Begitu beranikah dia?
                “Tapi, bagaimana kalau aku tidak bisa? Kenapa kau bisa berangan jauh tentangku? Bahkan aku sendiri yang menginginkan hal itu, aku belum berani membayangkannya. Aku merasa belum cukup layak membayangkan hal itu,” sahutku yang masih berusaha mengikuti bayangan pikirannya.
                “Kau bisa! Kau punya bekal untuk bisa melakukan semua itu. Aku yakin kau bisa,” tandasnya dengan yakin.
                Aku hanya nyengir mendengar ucapannya. Bagaimana lelaki itu bisa seyakin itu? Dia baru mengenalku beberapa minggu yang terangkai bulan. Dan dia, dia selalu memimpikanku dan segala hal tentang kebiasaanku. Mimpinya selalu benar. Dan aku selalu penasaran dengan hal itu.
                “Hhmm.. sudahlah, jangan memberiku harapan terlalu tinggi. Biarkan saja prosesku yang menjawab semuanya. Biarkan prosesku yang menentukan layak tidaknya aku berada dalam posisi sebesar itu,” ucapku pelan dengan ragu.
                Aku itu kebalikan dari dirinya. Jika dia dipenuhi dengan keyakinan dan percaya diri yang tinggi, maka aku tak cukup yakin dengan diriku sendiri, dan aku nggak cukup percaya dengan diriku.
****
                Lelaki itu seperti hujan di sore hari, yang membuatku basah kuyup dalam kekeringan. Dia seperti hujan yang memberiku ruang untuk berbagi dengan orang di sekitarku. Dia seperti hujan di sore hari, yang membuatku dapat menatap pelangi di penghujung senja.
                Lelaki itu seperti malam yang berhasil memerintah bulan dan bintang untuk bertengger dalam kegelapannya. Seperti itulah dia. Dia sukses membuatku menuruti setiap perkataannya. Meniti setiap inci hidupku untuk dapat sejajar dengannya kelak.
                Aku seperti gadis kecil untuknya. Gadis kecil dengan tingkat keegoisan tinggi dalam satu hal. Gadis kecil yang selalu menolak pemberiannya. Aku tahu dia nggak punya niatan lebih. Tapi, aku telah terbiasa memenuhi kebutuhanku dengan usahaku sendiri. Aku yakin bisa mendapatkan semua hal dengan usahaku. Aku, gadis kecil yang tak pernah meminta lebih kepadanya.
                “Aku tahu kalau kamu orang yang mandiri, nggak mau ngerepotin orang, nggak minta ke orang lain, mau memenuhi segala hal dengan usaha sendiri. Tapi itu yang membuatku lebih respect, aku salut sama orang seperti itu,” ucapnya berusaha menjelaskan.
                Dan, ya, aku gadis kecilnya yang egois dalam hal itu.
                “Kalau tahu, kenapa masih begitu? Maaf, bukannya aku sok jual mahal. Tapi, aku takut ke depannya aku yang nggak nyaman!!”sergahku.
                Saat itu, aku seperti anak kecil yang sedang memperjuangkan sebungkus permen yang aku yakin bisa mendapatkannya dengan usahaku. Nyatanya, aku masih tahu maksud lelaki itu. Dia baik, begitu baik padaku.
                “Aku minta maaf. Aku nggak akan begitu lagi. Maaf banget,” katanya dengan nada yang mulai merendah.
                Aku tahu lelaki itu begitu kecewa. Namun, dia juga harusnya tahu betapa aku tak ingin membebaninya lebih jauh dari ini. Aku hanya takut kelak akan menjadi gadis kecilnya yang manja. Bagiku, kehadirannya sudah melebihi cukup. Dia yang mengubah hidupku dengan sempurna.
****
                Lelaki itu seperti…. Ah, aku tak bisa menyimpulkannya. Mungkin dia malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengubah cara pandangku yang buruk. Dia seperti malaikat yang memberiku mimpi-mimpi besar, mimpi yang terus saja ia ucapkan akan terealisasi dalam hidupku.
                Lelaki itu membuatku berusaha untuk menjadi seperti yang diinginkannya, berusaha untuk mimpi yang dituturkannya dengan indah. Dia menjadi semangat yang aku sendiri tak tahu bagaimana cara memadamkannya.
                Lelaki itu datang dengan gelak tawanya yang khas, yang terkadang membuatku merindukan suara itu tiap kali ia menjadi sosok yang mereka kenal.
                Lelaki itu datang dan selalu punya waktu untuk menggangguku.  Membuat pertengkaran kecil yang setiap hari selalu kunantikan. Mengajakku bercerita tentang mimpiku. Dan seperti biasa, dia selalu berkata aku bisa dan aku sangat bisa untuk menjadi seperti itu.
                Lelaki itu membuatku selalu ingin mengatakan keberhasilanku. Dia selalu bisa menjadi alasanku untuk berjuang lebih untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Dan ketika aku memperoleh hasilnya, kepadanyalah aku memamerkan hal itu. Sayangnya, aku hanya gadis yang terlalu kecil untuk bisa menyingkirkan ego itu. Aku hanya gadis kecil yang dipenuhi pikiran bahwa aku bisa mendapatkan semua keinginanku dengan usahaku. Bagaimana mungkin? Ah, aku begitu absurd.

Post a Comment

1 Comments