Ibu, Salahkah Aku Mencintai Lelaki Dewasa Itu?



                “Kak Dion, kapan pulang?” tanyaku via telepon selular yang kugunakan.
                “Secepatnya. Aku juga sudah tidak betah di sini. Kau apa kabar? Bagaimana sekolahmu?” suara itu menggema di telingaku dari seberang pulau.
                “Nitely selalu baik. Sekolah juga lancar-lancar saja. Tapi, kemarin ulangan matematikaku hanya mendapat nilai 95,” suaraku merendah.
                “Oh, aku tetap bangga padamu. Kau tetap gadis kecilku yang istimewa. Ibu bagaimana?”
                Suaranya begitu menenangkan. Dion selalu mampu menyemangatiku hanya dengan seuntai kalimat seperti itu. Dia malaikat untukku. Dia selalu ada di saat aku rapuh. Menegarkanku di saat badai besar menimpa hidupku.
                “Dan kau lelaki dewasa yang selalu mengatakan hal itu!!” dengusku sinis. Dia hanya tertawa dari seberang. “Ibu baik. Dia juga menanyakan keadaan Kak Dion kemarin.”
                “Salam untuk ibu ya. Aku akan pulang secepatnya. Sudah dulu ya, laporanku sudah menumpuk di meja kerja.  Sampai bertemu, Gadis Kecil!” ucapnya seraya menutup telepon singkat itu. Ya, dia menutupnya sebelum aku sempat mengucapkan salam penutup.
                Dion. Aku terkadang bingung menjelaskan sosoknya. Terkadang dia seperti malaikat di hidupku, tetapi kehadirannya lebih seperti hantu yang datang dan pergi sesuka dan semaunya. Dari Dion, aku mengkais butir semangat yang sempat hilang dan runtuh ketika aku menyaksikan perselingkuhan ayahku di depan mataku. Saat itu pulalah ibuku menuntun sebuah perceraian akan pernikahannya.
                Aku tak mendapatkan pengertian kata cinta dari hubungan ayah dan ibuku. Bagiku, cinta hanya alibi manusia yang absurd, yang datang membawa indah pada semusim pertama. Setelahnya, hanya akan membawa kesakitan dan pengkhianatan. Namun, Dion datang sebagai malaikat penyelamatku dan meruntuhkan semua opiniku tentang cinta. Dia mulai memperkenalkanku pada wujud cinta yang sebenarnya.
                Aku Nitely, gadis berusia 16 tahun yang mencintai malaikatnya, malaikat yang menyelamatkan hidupnya sejak empat tahun lalu. Gadis yang mencintai lelaki dewasanya, Dion.  Lelaki dewasa itu kini berusia 32 tahun, dengan tatapan teduhnya, suara yang selalu menenangkanku, dan senyum yang selalu mampu menyeretku untuk mengikutinya. Lelaki dewasa yang selalu menjadi penyemangatku, satu-satunya alasanku untuk selalu menuruti setiap perkataannya; Perkataan yang selalu berisi sebuah janji bahwa hidupku kelak akan seindah hidupnya, semapan dirinya. Dengan cara itulah aku mengenalnya.
                Dia sempurna. Dia sangat sempurna dengan semua sikap dan peringainya. Baginya, wanita adalah makhluk yang sangat dihormatinya. Karena ia berharap sosok ibu dari seorang wanita. Ya, dia sudah tak memiliki ibu. Dan sekarang yang lebih menyakitkan, ibuku adalah ibunya juga. Aku hampir mati menempatkan perasaanku ini pada lorong yang mana; pada pemisah batas yang mana.
****
                Hari ini Dion pulang ke Indonesia. Kepulangannya tak pernah lama, hanya sekitar seminggu sampai dua minggu. Setelahnya ia akan kembali ke Belanda untuk meneruskan pekerjaannya.
                Seminggu atau dua minggu, waktu yang sangat singkat untuk pertemuan setahun sekali. Tapi, aku selalu menantikan siluet bahu kekarnya yang menyembul dari balik bandara. Ya, aku selalu menantikan siluet malaikatku itu.
                Kepulangannya kali ini terasa berbeda. Dion membawa seorang wanita bersamanya; wanita cantik dan proporsial untuk ukuran wanita dewasa. Aku tak tahu siapa wanita itu. Dion tak pernah menceritakan tentang wanita itu padaku.
                Wanita itu menggandeng lengan Dion; mesra. Wanita itu selalu saja menempel di dekat Dion, nyaris menyingkirkanku dari samping Dion. Menyingkirkan gadis kecil yang selalu menanti kepulangan lelaki dewasanya. Wanita itu benar-benar menyebalkan! Ia selalu saja menjadi penggangguku. Aku tak bisa menggandeng lengan Dion lagi. Aku tak bisa lagi duduk di dekat Dion saat di taksi. Aku bahkan tak bisa menanyakan banyak hal dan mengajak Dion pergi ke tempat yang biasa kami kunjungi setiap kepulangannya. Baru dua jam wanita itu bersama kami, dan dia sukses menjajah hakku atas Dion!
****
                “Nitely, kau semakin cantik. Setahun yang lalu, rasanya kau tidak secantik ini. Lihatlah sekarang, aku melihat gadis kecilku dengan cita-cita yang sangat dekat di depannya. Kau hebat, Nitely!! Sayang, waktu sangat cepat berubah dan berlalu. Aku tak bisa menyaksikan setiap inci perubahanmu karena tugasku di Belanda sekarang,” ucap Dion memujiku saat makan malam di rumah.
                Telingaku serasa melejit 100 meter ke atas. Pipiku menyembulkan rona merah, aku tersipu malu sekaligus senang karena Dion memujiku di depan wanita asing itu. Dia kalah telak denganku malam ini!!
                “Oh ya Nitely, aku sampai lupa. Ini namanya Janet, rekan kerjaku di Belanda. Ibu sudah mengenalnya tadi sore. Hanya saja tadi sore kaukan langsung pergi, jadi aku tak sempat mengenalkan kalian. Dan Janet, ini Nitely, gadis kecilku yang tangguh!” tandas Dion seraya memperkenalkanku pada Janet.
                “Janet? Kenapa tidak Jadis saja namanya. Iya, seperti nama penyihir jahat di film The Chronicles of Narnia. Ya, penyihir sadis yang seharian ini merenggut posisiku dari Dion!!” dengusku dalam hati kesal.
                Wanita berdarah Indo-Belanda yang kata Dion bernama Janet itu segera mengulurkan tangannya. Aku tersenyum kecut padanya seraya meraih jabatan tangan darinya. Sebenarnya aku tidak sudi menjabat tangan wanita itu kalau tidak memikirkan tata kramaku sebagai orang timur.
                “Kau benar-benar menjajah posisiku serta seluruh perhatian Dion dariku!!” dengusku sekali lagi menyumpahi wanita itu.
****
                Usai makan malam aku pergi ke pematang sawah sendirian. Aku duduk di gubuk kecil pinggiran sawah, memandang bulan sabit yang melengkungkan senyum malam. Satu-dua kunang-kunang berkeliaran di sana. Beterbangan mengusikku dan mulai menjemput guratan senyum di wajahku.
                Dulu, sebelum wanita itu datang ke hidupku hari ini, aku selalu ke sini dengan Dion. Dion tahu aku sangat mencintai kunang-kunang. Aku adalah gadis kecilnya yang merindukan cahaya kecil yang bekerlipan di sekitar pematang sawah.
                Aku kalut, bingung. Aku tak tahu dan tak mengerti harus kuapakan perasaan ini. Harus kuapakan?? Ya, harus kuapakan. Tadi saat makan malam, Dion mengatakan bahwa ia sudah menikah dengan Janet. Menikah? Bagaimana mungkin menikah tanpa mengabariku? Oke, aku siapanya? Hanya gadis kecil yang tak berhak protes lebih terhadap keputusannya itu sebagai lelaki dewasa. Dia menikah; hal wajar. Umurnya sudah cukup untuk melangsungkan pernikahan itu. Kesuksesannya sudah cukup untuk menghidupi anak orang (dengan kata lain bertanggung jawab untuk rumah tangganya).
                Aku masih tepekur. Merenungi rasa-rasa yang kian kubiarkan hidup subur di hatiku; sebelum aku tahu bahwa dia sudah menikah dengan wanita itu minggu lalu.
****
                “Kenapa kau ke sini tidak mengajakku?” tanya Dion yang tiba-tiba datang menghampiriku.
                Aku jelas terkejut dengan kedatangannya. Sebenarnya lebih ke arah aku tak tahu harus berbincang dan berkata apa padanya. Jelas saja keadaannya sudah berbeda. Sekarang, dia sudah menjadi suami orang, bukan lagi Dion yang kukenal dulu masih selalu mendekapku, berjalan di sampingku, menggenggam tanganku, membiarkan aku menggandeng lengannya. Sudah tak ada lagi hal seperti itu. Wanita itu sukses mengambil alih semuanya.
                “Aku pikir kakak masih sibuk dengan Kak Janet dan Ibu,” jawabku datar tanpa ekspresi.
                Tuhan, jantungku berdetak tak karuan! Berulang kali aku mengutuknya. Jantung ini benar-benar membuatku kesusahan untuk bersikap biasa di depan Dion, di depan malaikatku. Aku membencinya kini, terlebih karena ia tak pernah cerita padaku tentang Janet.
                “Kau kenapa? Kau marah padaku, Nitely?” tanya Dion kembali seraya duduk di sampingku.
                Aku menggeser sejadinya, mengatur jarak.
                “Tidak, kenapa aku harus marah. Selamat untuk pernikahanmu,” sekali lagi aku menanggapi pertanyaannya dengan datar.
                Mataku memanas, memerah. Terlebih lagi ketika Dion bercerita tentang ‘dulu’. Ya, ‘dulu’ yang berarti lebih untukku. ‘dulu’ yang selalu memberiku ruang untuk bersama Dion. Hatiku kebas, lidahku kelu dari kata-kata. Aku tak tahu harus berkomentar apa. Belum lagi dia mulai menyindirku akan perubahanku seharian itu, sejak pertama kali ia kembali ke Indonesia.
                 Perasaanku kian buncah ketika Dion mengucapkan satu kalimat yang kurasa itu benar-benar tampak pada peringaiku seharian ini. Aku tak lagi sanggup menahan air mata yang sejak tadi berontak keras pada pertahananku. Aku semakin benci ketika Dion menanyakan hal itu, yang sudah jelas dia tahu jawabannya.
                “Kau tidak suka dengan pernikahanku? Kau tidak suka pada Janet?” tanya Dion yang benar-benar meledakkan balon perasaan yang menggelembung di hatiku sejak tadi siang.
                Aku menatapnya sinis. Mataku kian memerah dan berkaca-kaca. Aku menarik napas panjang dan berusaha menyusun perkataanku sedemikian rupa. Aku tak peduli dengan dampak dari ucapanku, aku hanya ingin dia berhenti membahas hal itu; hal yang kutahu dia sudah menyimpan jawabannya.
                “Kau? Kau masih menanyakan hal itu? Kau tahu apa jawabannya dan kau masih menanyakannya padaku??” pekikku dengan lengkingan nada yang memecah malam.
                Kunang-kunang yang saat itu sedang menyaksikan kami, menjadi saksi betapa sakitnya hatiku yang menantikan kepulangannya setiap tahun, menanti beberapa malam untuk bisa menikmati kunang-kunang bersamanya.
                “Aku tak tahu kau bodoh atau berpura-pura tak mengenali sekitarmu? Kau masih menanyakan hal yang kau sendiri tahu jawabannya. Kau datang di saat terburukku, kau rengkuh aku, kau dekap aku, kau seka air mataku, kau teduhkan aku dengan tatapanmu, kau tenangkan aku dengan suara penuh kelembutanmu. Kau beri aku kesempatan, kau berikan aku ruang untuk bisa mengenal wujud cinta yang sebenarnya, yang tidak pernah kudapatkan dari pernikahan ayah dan ibu!!”
                Sukses!! Pipiku menggali sungai kecil; mataku basah; air mata mengalahkanku malam itu, mengalahkan hati gadis kecil yang mencintai malaikatnya dan kini ada wanita baru di hidup lelaki dewasanya yang sukses mengambil alih Dion darinya.
                Aku merendahkan nada bicaraku. Dia menatapku lamat-lamat dan mendengarkan setiap kalimat yang meluncur dari mulutku. Dia menatapku, teduh. Ah, lagi-lagi tatapan itu..
                “Aku.. Aku salah. Aku salah dengan semua perasaanku ini,” ucapku seraya menundukkan kepala.
                Hatiku dipenuhi rasa bersalah. Terlebih menghakimi diriku sebagai gadis kecil tak tahu diri yang mencintai malaikat sekaligus lelaki dewasanya yang selama ini selalu baik terhadapnya. Aku mengutuk diriku sendiri demi apapun.
                “Aku tak tahu dengan alasan apa. Kau, kau lelaki dewasa yang selalu menjadi penyemangatku. Kau lelaki dewasa yang menyebalkan! Aku tak tahu sejak kapan. Aku mulai cemburu; aku mulai merindukanmu. Dan aku paling benci harus mengakui ini. Mungkin, aku juga mencintaimu!! Aku memendamnya sejak empat tahun lalu. Memangnya aku ini siapa? Aku hanya gadis ingusan yang dulu kau temukan dan kau rengkuh untuk dapat berdiri. Haruskah aku mencintai lelaki dewasa yang berbaik hati mengangkatku dari masalah tersulitku? Aku memang tak tahu diri!!” Sekali lagi aku menyumpahi diriku.
                Dion masih diam. Dia masih memberikanku kesempatan berbicara. Lebih tepatnya ia terlihat sedang berpikir harus menyikapiku seperti apa, harus menyikapi gadis kecilnya yang tak tahu diri ini seperti apa.
                “Salahkah jika aku mencintai malaikat yang menolongku empat tahun lalu? Maaf, Kak Dion. Maafkan gadis kecilmu yang lancang ini. Aku melakukan semua hal karenamu, aku ingin membuatmu bangga dan memperbaiki diriku agar bisa menjadi ‘layak’ untuk mencintamu. Sayang, aku memang tak pernah layak untuk itu…
                “Aku selalu menantikan seluit bahu kekarmu dari balik bandara. Setahun aku menunggumu di pematang sawah ini, menanti kunang-kunang yang hanya muncul setahun sekali. Kau tahu aku perindu kunang-kunang. Kau tahu seberapa berartinya cahaya kecil di udara itu untukku. Dan aku yakin kau juga tahu, seperi itulah aku menjadi perindumu.. Kau lebih dari kunang-kunang malamku, kau malaikat untukku. Harusnya aku bisa menganggapmu sebagai kakakku saja!! Sayangnya, aku tak cukup dewasa untuk bisa mengontrol rasa yang terus saja menabur benih di hatiku..
                “Kau tak harus tinggal di sini. Kau bisa memecatku sebagai adikmu, sebagai gadis kecil yang kurang ajar pada lelaki dewasanya. Kau boleh memakiku, membenciku. Setidaknya aku sudah mengatakan apa yang membuatku tak nyaman berada di dekatmu. Ya, aku tak pernah suka dengan pernikahanmu, terlebih kau tak pernah menceritakan tentang wanita itu padaku..”
                Aku menutup ucapan dan penjelasan panjangku. Suaraku sudah benar-benar hilang. Bahkan untuk mengucapkan kalimat terakhir tadi saja suaraku terdengar begitu parau; lirih. Aku tertunduk, menjauhi Dion dan mengatur jarak. Kurasa dia sudah membenciku dengan sukses. Namun, Dion malah mendekatiku dan memelukku. Dia menyeka air mataku seperti biasanya. Dia membujukku dengan suaranya yang selalu bisa menenangkanku.
                “Ada hal yang terkadang tak kita mengerti, Nitely. Aku tak menyalahkanmu. Kau tidak salah dalam hal ini, Nitely. Terkadang Tuhan sering jahil kepada kita, tetapi maksud-Nya selalu baik. Kau tetap gadis kecilku yang selalu membanggakanku,” ucap Dion dengan suara beratnya yang menenangkanku.
                Sial!! Aku kalah telak dengan ucapannya. Aku tak pernah bisa menolak setiap perkataannya. Aku berusaha menahan air mataku, meski ulu hatiku serasa ditikam ribuan sembilu.
                “Maaf aku tak pernah bercerita tentang Janet. Pernikahan itu juga begitu mendadak, maafkan aku, aku memang salah dalam hal itu. Sudah, jangan menangis lagi. Aku tak pernah membencimu. Aku tetap lelaki dewasamu, meski keadaannya sudah berbeda..
                “Ada banyak hal yang tidak kita mengerti dan tak dapat kita duga kedatangannya. Nanti, suatu saat kau akan mengerti, Gadis Kecil..” tandas Dion yang masih mendekapku.
                Malam itu kami melewatkannya di pematang sawah biasa, bersama kunang-kunang malamku. Ya, aku mencintainya. Aku tak pernah benar-benar membencinya. Aku masih mencintainya, sejak pertama kali dia datang di hidupku.
****
                Aku baru saja menerima email dari Dion. Aku baru tahu alasan Dion akan semua hal yang diambilnya dalam kehidupannya. Bodoh!! Seperti itulah kata yang tepat menggambarkannya. Namun, seperti katanya, ada banyak hal yang tak bisa kita mengerti dalam hidup ini.
                Aku menerima email itu sebulan setelah kepulangannya ke Belanda bersama Janet.

                Dear Nitely,
                Maaf atas semua perilaku dan sikapku tentang Janet. Sungguh, kau tak pernah salah dengan apa yang kau rasakan. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu, tentang alasanku dan kebenaran yang tersembunyi di antara kita.
                Kau mencintaiku dengan sempurna, dengan cara yang sempurna. Aku sendiri tak yakin bisa melakukan hal itu jika ada di posisimu. Empat tahun lebih kau memendam cintamu dan berpura-pura bersikap biasa padaku di setiap pertemuan kita. Kau benar-benar mahir menyembunyikan perasaanmu!
                Aku menikahi Janet atas permintaannya. Benar, aku berpacaran dengannya setengah tahun terakhir sebelum menikahinya. Aku berpacaran dengannya karena satu hal, aku hanya ingin menetralisir perasaanku pada seseorang yang sudah sejak lama aku cintai. Awalnya aku merasa ada yang salah dengan perasaan itu. Aku tak berani untuk jujur pada hatiku sendiri, hingga aku terjebak dalam keadaan ini.
                Ya, aku lelaki dewasamu yang kemudian berpikir seperti remaja labil lainnya. Aku memutuskan menikah untuk membunuh habis semua perasaan cinta yang selama ini tak pernah bisa kuterima keberadaannya. Yang terlalu takut kuakui. Dan sampai sekarang aku masih mencintainya.
                Kau tahu siapa yang kucintai, Gadis Kecil? Ya, kau benar. Mustahil aku tak mengetahui dan mendeteksi rasa cintamu padaku, aku tahu itu. Tetapi aku terlalu takut dengan keadaannya. Aku mencintaimu, Nitely. Aku mencintai gadis kecilku yang kutemukan sedang menangis di penghujung malam karena perpisahan kedua orang tuanya. Aku mencintai gadis ingusan yang beberapa tahun lalu begitu kesepian dan begitu dingin, nyaris beku. Aku mencintai gadis kecil yang mulai bersandar di bahuku setiap malam, dulu. Aku mencintai gadis kecil itu.
                Maafkan aku Nitely, aku memilih memusnahkan rasa cintaku. Aku tak setegar dirimu yang membiarkan rasa itu tumbuh subur dan menerima keberadaannya. Aku pengecut, Nitely!! Ya, aku lebih pengecut dari gadis kecilku sendiri.
                Sekarang, semua terdengar terlambat bukan? Tapi aku senang mendengar pengakuanmu kemarin. Aku lega. Setidaknya aku masih bisa mendengar cinta dari mulut gadis kecilku.
                Aku tahu, kejujuranku ini takkan berarti apapun lagi. Ya, semoga ada ending yang lebih baik untuk kisah ini,  semoga..
Jadilah gadis kecilku yang tangguh, Nitely!! Akan ada banyak hal yang tak kau mengerti ke depannya. Tegarlah...

Lelaki dewasamu,

Dion

                Speechless!! Aku terdiam membisu memandang ibu yang saat itu juga berada di kamarku. Air mataku kembali menetes. Ibu panik melihatku menangis setelah membaca email yang kuterima barusan.
                Ibu, salahkah aku mencintai lelaki dewasa itu?” tanyaku pada ibu di sela-sela tangisku dengan suara yang sangat parau.
Aku menatap nanar pada ibu; menangis..

Post a Comment

1 Comments

  1. Bagus kok ceritanya bad endingnya juga dapat, tapi ceritanya kayak gantung gitu.

    ReplyDelete