Serempak,
berpuluh-puluh mata memandang ke arah Si Gadis yang duduk di sudut kafe. Komat-kamit
tak jelas meluncur dari mulut-mulut pemilik mata itu.
“Dia
mengunyah waktu!”
“Lihat!
Dia memankannya!”
“Astaga?
Siapa gadis itu?”
Si Gadis
diam. Tak peduli. Apa masalahnya untuk orang-orang ini? Dia hanya mengunyah
waktu-waktu yang menyakitkan, pun kenangan yang menyesakkan.
Seorang
pemuda menghampirinya. Menarik kursi di hadapan Si Gadis, lalu duduk di sana.
Tatapan
elang, mencengkeram jiwa Si Pemuda. “Apa yang kau lakukan?”
Si Pemuda
tertawa getir. Ia mengambil kepingan kenangan dan waktu yang terasa menyakitkan—yang
tersaji dalam piring hidangan Si Gadis. “Membantumu menghabiskan waktu dan
kenangan pahit ini. Astagaaa!! Ini benar-benar pahit! Pantas saja hatimu sampai
busuk begitu. Ternyata kenangan ini benar-benar pahit!” Si Pemuda mengomentari
dengan ekspresi peduli.
Si Gadis tetap acuh tak acuh. Ia menarik piring hidangannya.
“Lihat
lelaki gila itu!” Koki yang menyajikan hidangan tadi berkomentar.
Pelayan
yang melayani si gadis berkomentar heran. “Astaga!”
“Apa
yang kau mau?” Si Gadis mengulang pertanyaan, lagi.
“Menggantikan
lelaki yang membuatmu patah hati dan gagal move on seperti ini.”
“Lihat!
Pemuda itu mencintainya!!” Ceracau pengunjung kafe.
“Kau
sudah tahu aku gagal move on! Kau rasakan kenangan pahit itu! Kenapa kau masih gila?!”
“Seribu
tahun pun aku sanggup memakan kenangan pahit ini untukmu. Aku bisa mengerti dan
bersabar. Dan aku yakin, janji matahari akan indah setiap harinya. Kau akan
jadi milikku.”
Di luar,
sesobek sabit tengah memandang dua insan yang berdebat hebat. Mengaminkan setiap
doa Si Pemuda. Tentang seribu waktu yang dikatakannya, mereka mulai menghitung
detiknya.
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.
0 Comments