Aku mengenalnya, aku menemukannya. Aku
mendengar suara dan melodi dari setiap denyut nadinya. Aku mendengar ritmis
detak jantungan yang berpacu waktu. Aku mendengar tetesan peluh yang
mengiringin perjuangannya. Aku mendengar keluhan pelan dari bibirnya yang
menahan sakit. Aku memikirkan setiap hal yang mengganggu pikirannya. Hingga kutemukan
aku di sana, di antara gerlisah hatinya dan kebimbangan pikirannya.
“Kau tetap saja kunang-kunang
dipenghujung malam. Sayangnya aku tak bisa menikmati cahayanya bersamamu,” ucap
pemuda di sudut tatapanku.
Aku hanya mendengar setiap kalimat
yang menyatakan bahwa ia tak dapat bersamaku. Aku mendengar lamat-lamat hati
yang mulai merangkai alasan bak rajutan sweeter terbaik di dunia, hanya untuk
menutupi kedinginan hati yang mati.
Gerimis, rintik. Harmonis ritmisnya
syahdu menyapa pendengaranku. Sayangnya pemuda itu tetap saja tinggal di sana,
di penghujung senjanya. Tak jua ia bergeming melangkahkan kaki ke penghujung
malamku, bersama semua kunang-kunang musim dinginku.
Tak juga aku mendapati setiap mili
langkahnya mendekatiku. Yang kutatan hanya setiap centi kemundurannya
menjauhiku, membiarkanku sendiri bersama penghujung malam yang pasti akan
luntur saat mentari terbit. Yang membiarkanku kehilangan cahaya kunang-kunang
musim dinginku.
Sial, tak juga aku bisa mengikhlaskan
kepergiannya. Hatiku, masih saja mengharapkan setiap mili langkahnya
mendekatiku. Masih saja berharap ia akan menyapa penghujung malam bersamaku. Tapi,
tetap saja ia tinggal bersama jingganya di penghujung senjanya.
Sial, aku semakin mencintai pemuda
itu, pemuda yang tak pernah bergeming melangkahkan kaki ke arahku. Pemuda yang
tetep kokoh dengan penghujung senjanya, bersama Jingganya. Dan aku, aku Nitely,
penghujung malam bersama kunang-kunang musim dingin.
Sial, pemuda itu masih saja memenuhi
pikiranku!!
0 Comments