Wajahmu Ingatkanku Dengan Dia



“Karena dia malaikatku, maka aku tak bisa mencintainya. Aku manusia biasa, tidak bisa menjadi malaikat sepertinya.”

Kau datang di waktu yang tepat
Kau mengisi sakit jiwaku
Walau mungkin kau pun terluka
Salahkan aku yang tlah percaya
Wajahmu ingatkanku dengan dia..

                Gerimis. Kala itu, dia datang ke hidupku. Dia seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku. Saat itu, dia ada di sana. Dia berdiri di sudut kota dengan senyum yang tak asing untukku. Dia tersenyum padaku. Lalu, dia menawarkan sebuah keteduhan padaku.
                Detik itu, aku masih terpuruk dalam kesedihanku. Aku masih tersedu di depan seonggok tanah lembab yang mengubur jasad dia-yang-lain. Hatiku mati, ruang di dalamnya seperti sudah dikosongkan bersama kepergiannya. Saat itulah dia datang. Saat kepergian dia-yang-lain membuatku bisu akan senyuman.
                Aku akan menceritakan malaikat itu, malaikat yang datang di tengah keterpurukanku. Malaikat yang mungkin kini membuatku terpuruk kedua kalinya.
****
                “Hei!! Sepertinya kau membutuhkan payung,” ucap dia yang menghampiriku dengan sebuah payung.
                Dia mengembangkan payung yang dibawanya tadi. Dia memberikan teduh padaku. Aku hanya memandangnya heran. Aku memandang senyum yang mengembang di wajahnya. Aku memandang mata itu, wajah itu, dan segala hal yang dimiliki dia. Dia mengingatkanku akan dia-yang-lain, yang sudah entah berada di dunia mana sekarang.
                “Kau siapa?” tanyaku heran.
                Saat itu, semua seperti mimpi. Aku berharap banyak pada dia yang saat ini ada di sebalahku. Aku berharap dia adalah dia-yang-lain yang beberapa hari lalu kusaksikan sendiri terbukur dalam seonggok tanah basah.
                “Rey,” jawabnya singkat seraya mengembangkan senyum untukku.
                “Ternyata bukan,” batinku lirih.
                Rey mengingatkanku akan Natan, pemuda yang membuat hatiku kosong setelah kepergiannya. Rey seperti reingkarnasi Natan. Rey mampu menghidupkan Natan kembali. Aku sempat berdoa pemuda yang ada di hadapanku saat ini adalah Natan. Sayang, dia bukan Natan yang kucintai.
                “Kau mengenalku?” tanyaku meyakinkan.
                Dia datang begitu saja dan menawarkan sebuah keteduhan padaku. Jika benar dia tidak mengenalku,  mengapa dia melakukan hal itu?
                “Mungkin saja,” jawabnya datar.
                Jleb!
                Jawaban itu yang dulu pernah dikatakan Natan untukku. Beda pertanyaan, namun jawabannya tetap sama. Suara itu juga sama.
                “Tuhan, malaikatmu kah ini? Kau mengirimkannya untukku? Atau, Natankah yang memohon pada-Mu, Tuhan?” batinku saat itu.
                Sekali lagi dia tersenyum padaku. Dan aku benar-benar yakin senyum itu adalah senyum Natan. Suara itu, tawa itu, bahkan sentuhan jari-jemarinya yang terkait di kelingkingku. Semua itu milik Natan. Aku yakin itu.
                Kau.. kau adalah Natan, bukan? Kumohon mengakulah,” besitku dalam hati seraya menatap penuh harap padanya.
****
                Dua tahun setelah kepergian Natan dan setahun setengah setelah aku menjalin cinta dengan Rey. Semua kenyataan ini membuatku terpuruk kesekian kalinya. Semakin lama aku menjalin cinta dengan Rey, semakin besar harapanku agar Rey menggantikan posisi Natan. Ya, aku berharap Rey yang terkubur dalam makam Natan.
                Wajah Rey yang begitu mirip dengan Natan, bahkan semua kebiasaannya, membuatku hampir mati memisahkan perasaanku untuk Natan dan perasaanku untuk Rey.
                Rey. Dia adalah malaikatku. Dia malaikat yang membuatku selama dua tahun ini masih bisa merasakan bayangan Natan. Dia malaikatku dan aku memanfaatkannya. Aku begitu kejam. Begitu sadis padanya.
                Aku tak pernah bercerita padanya mengenai Natan. Hingga, rasa ini membumbung tinggi di kepalaku, aku menanyakan masalah Natan ke Rey. Aku yakin, Rey pasti mengenal Natan. Entahlah, hatiku yang mengatakan itu.
                “Kau mengenal Natan, bukan?” tanyaku dengan nada meninggi.
                Rey hanya menatapku nanar sejenak, lalu ia memalingkan wajahnya dariku. Dia menghela napas panjang. Aku tahu, selama ini ada hal yang tidak wajar dengan semua kejadian ini. Rey dan Natan. Bagaimana mungkin mereka bisa semirip ini?
                “Tidak,” jawan Rey pelan.
                Aku terus menyumpalinya dengan pertanyaannya yang sama. Hingga ia kalap mendengar pertanyaanku.
                “Ya! Aku mengenal Natan! Kenapa?” ucap Rey dengan nada yang lebih tinggi. Dia membentakku.
                Aku terdiam. Dia yang selama ini kuanggap malaikatku, ternyata dia yang membohongiku. Bukan aku yang menyimpan cerita tentang Natan dalam posisi ini, tapi dia!!
                “Kenapa kau tak pernah bercerita padaku? Kenapa? Siapa Natan? Kau siapanya? Kenapa kau datang ke hidupku seperti malaikat yang dipinjamkan Tuhan untukku? Lalu kau membohongiku untuk hal ini? Kenapa?!!” dengusku kesal dengan suara parau.
                Mataku memanas. Hatiku terasa getir menerima kenyataan itu. Kini, aku jauh lebih kalut. Bukan hanya harus memisahkan perasaan untuknya dan Natan, tetapi juga harus mempercayai dia sebagai malaikatku atau pembohong terbesar di hidupku.
                “Dia saudara kembarku,” tutur Rey setelah berpikir cukup lama.
                Speechless!! Aku serasa dihujam ribuan asteroid masa lalu yang membuatku terasa sangat konyol. Rey saudara kembar Natan dan aku tak pernah mengetahui hal itu? Siapa yang absurd dalam kisah ini?
                “ReyNatan??” Aku berusaha menggabungkan nama mereka. Dan di sanalah aku semakin menemukan kebodohanku.
                Aku sering mendengar nama itu ketika bersama Natan. Dan aku tak pernah menyadari hal itu.
                “Maaf aku tak pernah cerita. Natan menitipkanmu padaku. Natan ingin aku membahagiakanmu. Selama ini aku tak pernah hadir bersama Natan karena kami berbeda. Dia memilih menetap di Indonesia, sedangkan aku memilih beasiswa ke Meksiko. Natan begitu mencintaimu. Bahkan dia ingin aku menggantikan posisinya sebagai kekasihmu,” ucap Rey berusaha menjelaskan padaku.
                “Kau.. Kau seperti malaikat di hidupku. Kau datang di waktu yang tepat. Kau datang tepat ketika aku terpuruk dan merasakan sakit jauh di hatiku. Kau mengobati sakit dan kerinduanku akan Natan. Kau mengingatkanku akan Natan. Kau membuatku tetap bisa merasakan Natan. Aku..” ucapku terbata. Air mata sudah sukses membanjiri pipiku sejak tadi. “Aku mungkin bukan mencintaimu, tapi mencintai Natan yang hidup dalam dirimu,” tandasku.
                Rey memelukku. Ia merengkuhku. Pelukan itu sehangat pelukan Natan. Aku merindukan Natan.
                “Kenapa kau tak bisa mencintaiku sebagai Rey?” bisik Rey yang masih membenamkanku dalam pelukannya.
                Aku menghela napas panjang. Terlalu sulit untuk kuterima. Andai saja dia bukan malaikatku, mungkin aku bisa mencintainya sebagai Rey. Sayangnya, dia tetap malaikat di hidupku, maka aku mencintainya sebagai Natan.
                “Karena kau malaikatku. Aku tak mungkin mencintai malaikat yang sudah menjagaku selama ini. Karena aku manusia, bukan malaikat sepertimu, maka aku mencintai sosok manusiawi dalam dirimu. Sosok itu hanya kutemukan pada sebahagian Natan yang hidup dalam dirimu.”
                Rey melepaskanku dari pelukannya. Ia memandang ke sisi kanannya. Tatapan itu penuh arti. Dia sedang menatap seseorang, namun kutahu di sana tak ada siapapun.
                “Mili, sentuh hal yang ada di depanmu dengan telapak tanganmu,” ucap Rey memerintah. Aku tak mengerti dengan maksudnya.
                 Aku mengernyitkan dahiku heran.
                “Sentuh saja layaknya kau menyentuh sebuah bidang datar.”
                Aku melakukan yang diperintah Rey. Sepersekian detik kemudian, aku merasakan sesuatu yang menyentuh telapak tanganku. Tapi, aku tak menemukan apapun di sana.
                “Kau merasakannya? Ada yang menyentuhmu?” tanya Rey. Aku mengangguk pelan. “Itu Natanmu. Itu Natan yang selama ini kau rindukan,” tandas Rey.
                Mataku terbelalak. Memandang Rey penuh tanya. Aku kian tak mengerti dengan yang dimaksud Rey.
                “Itu Natan. Katakan sesuatu padanya, dengan hatimu,” ucap Rey.
                Aku masih tak mengerti sebenarnya. Namun, aku berusaha melakukan yang diperintahkan Rey. Dia malaikatku, aku tahu dia jujur kali ini.
                “Natan..” batinku penuh harap.
                “Mili, bagaimana kabarmu?”
                Aku mendengar suara itu bergeming di telingaku. Aku tak tahu suara itu datang darimana. Tapi, aku mendengarnya mendengung di telingaku.
                Aku menatap Rey penuh harap.
                “Rey..” ucapku pelan.
                Rey seolah mengerti apa yang kumaksud.
                “Itu suara Natan. Katakanlah yang ingin kau katakan, waktunya tidak banyak,” sahut Rey. Aku mengangguk lagi.
                “Natan, aku merindukanmu..” sekali lagi aku membatin dalam hati.
                “Kata Natan, dia juga merindukanmu. Dia ingin kau baik-baik saja di sini dan hidup dengan bahagia, seperti dulu saat kau bersamanya,” ucap Rey.
                “Bagaimana kau tahu?” tanyaku heran.
                “Aku saudara kembarnya. Aku tahu keberadaan Natan sejak dua tahun ini selalu di dekatmu,” jawab Rey. “Kata Natan, kenapa kau tak bisa mencintaiku? Padahal dia sudah menyuruhku untuk menjagamu,” tandas Rey.
                Sekali lagi aku menghela napas. Aku masih merasakan sebuah sentuhkan hangat di telapak tanganku.
                “Natan, Rey seperti malaikat yang kau kirimkan untukku. Memang, aku sakit dengan kenyataan kedua yang harus kuterima ini. Namun, aku tetap berterima kasih, kau mengirimkannya untukku,” ucapku diikuti dengan deheman kecil dariku. “Rey malaikatku. Karena dia malaikatku, maka aku tak bisa mencintainya. Aku manusia biasa, tidak bisa menjadi malaikat sepertinya,” tandasku.
                Perlahan, sentuhan di ujung jemariku mulai menjauh, aku merasakannya. Aku mencari jejak Natan. Aku meraba sentuhannya yang mulai memudar. Aku memandang nanar pada Rey, berharap dia bisa menjelaskannya padaku.
                Rey menghela napas panjang.
                “Waktu Natan sudah habis, Mil. Natan mulai menjauh darimu. Natan cuma ingin kau bahagia, dengan atau tanpanya, dengan atau tanpaku. Jika..” ucapan Rey terputus. Napasnya terasa begitu berat. Aku dapat melihat ucapannya kali ini menyangkut hati dan perasannya. “Jikapun kau tak bisa mencintaiku dan bahagia bersamaku, maka cintai pemuda lain dan bahagialah bersamanya,” tandas Rey seraya menundukkan wajahnya.
                Saat itu, gerimis juga turun. Natan sudah menghilang di ujung sentuhanku. Aku dan Rey hanya tertunduk memahami rasa yang entah kusebut apa ini. Dia malaikatku, hanya itu yang kutahu.
****
                Aku berdiri di bawah lampu jalanan tua ini. Saat ini juga sedang gerimis. Aku hanya saling bertatap dengan orang di seberang sana. Aku hanya bisa menatapnya sebagai orang yang tak mungkin bersamaku. Sebagai orang yang berbaik hati hadir dan mengobati luka jiwaku.
                Hatiku serasa teriris tiap kali harus menyadarkan diriku bahwa dia hanya malaikatku. Aku serasa jadi makhluk paling culas ketika aku berharap dia akan menggantikan posisi dia-yang-lain. Padahal, dia selalu saja membuka lebar tangannya dan menyajikan pelukan hangat itu untukku.
                “Karena dia adalah malaikat hidupku, yang mengingatkanku pada pengirimnya, Natan..” batinku berusaha menyadarkan diri.

Post a Comment

0 Comments