Cerita Burung Kertas



Ryu Ozuke Army, one name for one love..
            Segera saja kubiarkan kepakan sayap burung kertas ini melayang membawa cerita tentang Ryu, tentang sosok yang memberiku mata untuk memandang dan menatap bumi lagi.
            Sejenak jejak pekan lalu mengenang dalam memoriku, tepat ketika ia membagi penglihatan ini denganku, dan ketika aku  menginspirasinya untuk bertahan, katanya.
***
            Aku seorang gadis berusia 18 tahun. Sebelumnya aku pernah melihat, menghirup dan menikmati pemandangan di sekitarku. Berbagai warna, bentuk dan rupa dapat kupandang. Namun semua berubah ketika aku harus menyelamatkan Siska, adik perempuanku yang nyaris kehilangan degup jantungnya karena sebuah truk besar yang hendak menabraknya.
“Seandainya saja kala itu aku tidak menyelamatkannya, mungkin aku bisa melihat seperti kemarin,” batinku dalam hati dengan kesedihan yang kian meradang.
            Serasa semua keluh kesahku takkan berarti lagi, apa yang sudah terjadi tak mungkin bisa kumundurkan sesuai inginku, tentu Tuhan punya rencana lain.
***
            Seattle, salah satu kota hujan yang menjadi bagian dari Inggris. Gerimis yang indah selalu menghiasi kota ini, membuat klasiknya semakin terlengkapi rinai air langit.
            Sejak setahun lalu, aku sudah kehilangan penglihatanku. Namun hal itu tidak pernah menghentikan kecintaanku pada seni melipat kertas origami yang pernah kupelajari di Negeri Matahari Terbit, Jepang.
            Ya, pekerjaan orang tuaku sebagai peneliti membuatku sering berpindah tempat, hijrah dari satu kota ke kota lain, bahkan dari satu Negara ke Negara lain. Begitupun, darah Indonesia tetap mengalir dalam nadiku.
“Siapa aku?” pertanyaan itu pernah menghujamku kala pertama penglihatan meninggalkanku dengan kejamnya.
            Ya, aku bukan siapa-siapa tanpa penglihatanku, karena jujur saja aku seorang photographer muda di perusahaan tempat ayahku bekerja. Jelas saja tanpa penglihatan ini aku tidak akan menjadi apapun. Tetapi jawaban yang lain kutemukan setelah aku bertemu dengan Ryu di Seattle, di kota hujan ini.
***
“Kau bisa melipat kertas tanpa memandangnya?” tanya seseorang yang menghampiriku ketika aku sedang melipat kertas di sebuah meja Starbucks Coffee yang terletak di 839 12th Avenue Seattle, WA, tepat di jalan itu Starbucks Coffee dibangun.
Sedetik kemudian aku mendengar suara seretan kursi yang ditarik secara paksa dan seseorang duduk di atasnya.
“Bisa, kenapa? Kau siapa?” Aku kembali bertanya heran dengan kehadirannya yang tak terduga, seperti terik yang menghujam kota hujan ini secara mendadak.
 “Itu sangat hebat. Aku? Oh ya, kenalkan namaku Ryu. Aku baru melihatmu di tempat ini. Kau sering ke sini?”
“Ryu? Senang bisa mengenalmu. Aku sering ke sini, mungkin kau saja yang tidak memperhatikan.”
“Tetapi? Kenapa tatapanmu kosong?” Pertanyaan lelaki itu kali ini benar-benar menghujamku, membuatku kembali mengingat kejadian tragis yang merenggut penglihatan dan pekerjaanku.
“Aku tuna netra, aku tidak bisa melihat,” jawabku yang disudahi dengan sebuah senyum simpul.
Sesak menyerang dadaku, butir air mata mulai merapat ke tepian mataku.
“Oh, I’m sorry to hear that!”
            Perbincangan tak berhenti di situ. Jujur, sejak kepindahanku ke Seattle, baru kali ini ada yang mengajakku berbicara seolah aku menatapnya dengan penglihatan yang istimewa, padahal aku tak pernah menatapnya dengan tatapan penuh isi.
***
Ternyata masih ada yang berbincang denganku seolah aku menatapnya
            Aku menggantungkan burung kertas yang baru saja kubuat itu tepat di depan pintu kamarku, di mana burung-burung kertas yang lain juga tergantung di sana.
            Ya, aku menyukai burung kertas. Mereka punya cerita sendiri untuk menanggapi setiap kisahku, setiap hal yang terjadi di hidupku.
***
            Waktu yang berputar di sekitar langkahku, membuatku semakin menerima keadaan ini. Tuna netra yang kehilangan pekerjaannya. Ryu yang menjadi temanku, teman akrabku, perlahan membuatku merasakan arti persahabatan yang sesungguhnya.
            Semakin hari yang berlalu, kami semakin akrab.
“Aku bukan siapa-siapa tanpa penglihatanku,” ucapku bercerita padanya.
“Tidak! Kau istimewa. Cewek tuna netra yang kuat, berkebangsaan Indonesia, mencintai seni origami, dan tinggal di kota hujan, Seattle. Kau istimewa!” sahutnya yang terdengar seperti mengagumi pribadiku.
“Tapi, kenapa kau lebih sering membuat burung kertas itu? Kenapa tidak bentuk yang lain yang lebih sulit dan indah? Bukankah kau menguasainya juga?” tanya Ryu yang sedang memperhatikanku dan jari-jari indahku menekuk dan membentuk sepotong kertas berwarna di hadapanku.
“Karena aku seperti mereka,” ucapku yang diakhiri dengan helaan nafas panjang. Lalu kembali kulanjutkan ucapanku tadi. “Burung kertas. Mereka hanya bisa menunggu, menunggu angin untuk menerbangkan mereka. Sayap mereka tak cukup kuat untuk merengkuh udara dan melayangkan tubuh mereka di antaranya. Tetapi, mereka menyimpan cerita mereka sendiri, mereka hebat dalam hal itu. Aku pernah mendengarkan cerita dari burung-burung kertas itu,” tungkasku.
“Lalu, kenapa kau berani tinggal di kota ini?? Bukankah hujan bisa merusak sayap burung kertas itu?”
“JLEB!” Pertanyaannya menggetarkan hatiku.
Kuhela nafas panjang lalu tersenyum sejenak.
“Karena semua makhluk hidup membutuhkan air untuk bertahan hidup. Begitu juga dengan burung. Kalaupun hujan harus merusak hidup burung kertas, namun cerita yang mereka bawa akan abadi di dalam rintiknya.”
            Aku mereguk senyum bersama Ryu di sepanjang gerimis sore itu. Ia tersenyum lega mendengar jawabanku, aku merasakannya.
***
“Tuhan cukup adil denganku, Dia mengambil mataku kemudian Dia melebihkan semua inderaku. Mulai penciuman, pendengaran, perasa. Aku tahu, kau sedang memegang seikat mawar putih. Untukku?” ucapku di sela pertanyaan Ryu yang memang pada saat itu sedang membawa seikat mawar putih.
“Kau begitu tegar dan bijaksana dalam memandang semua hal. Yap, seikat mawar putih ini untuk seorang gadis tegar sepertimu. Ini,” katanya seraya menyerahkan seikat mawar putih itu.
            Bunga pertama yang kuterima dari seorang lelaki, membuatku tak bisa membiarkan burung kertasku melewatkan cerita ini untuk abadi bersamanya.
***
            Senja yang dihiasi gerimis. Aku masih dapat mereguk aroma jingganya di tengah tarian air langit ini.
            Ryu menghampiriku dengan nada bahagianya. Kutahu ada hal baik yang sedang menghampirinya.
“Drizzle, aku mendapatkan seorang pendonor mata untukmu!” pekik Ryu dengan semangatnya.
“Benarkah? Siapa?” Terang saja bahagia segera menjamahku di menit berikutnya.
Akupun merindukan semua keindahan, merindukan tatapan penuh isi tanpa kekosongan seperti sekarang ini.
“Entahlah, dia tidak menyebutkan namanya. Minggu depan akan dilakukan operasi matamu ya,” ucapnya seraya memelukku di tengah rinai hujan.
Hangat menyergapku dalam bahagia.
***
Operasi transplantasi mataku berjalan dengan lancar. Aku kembali dapat melihat beribu warna, bentuk dan rupa. Rasanya semua mimpiku kembali dalam pelukanku. Namun, aku tak menemukan sosok Ryu. Aku ingin sekali memandang wajahnya, wajah lelaki yang selama ini menjadi temanku.
Sudah kukelilingi rumah sakit, namun hasilnya nihil. Aku tidak tahu nomor handphonenya, dia juga tidak pernah memberi tahu di mana rumahnya.
Tiba-tiba seorang dokter datang menghampiriku dan memberikan secarik kertas yang dilipat kepadaku. Langsung saja tanganku membukanya dengan cekatan.

Dear Drizzle,
            Maaf, aku tak bermaksud untuk tidak ada di sisimu saat kau kembali menatap dunia. Aku tak bermaksud membiarkanmu mencari dan bertanya tentang diriku.
            Selamat, Sayang. Selamat atas keberhasilan operasimu. Sekarang kau bisa menjadi photographer lagi, seperti mimpimu selama ini.
            Drizzle, hadirmu seindah gerimis di senja, ketika kita mereguknya bersama. Kau menguatkanku, mengajarkanku untuk bertahan dan menerima hidup ini dengan ikhlas. Ya, kini aku ikhlas jika kanker otak ini harus merenggut nyawaku.
            Gerimis indah di penghujung hariku, aku penderita kanker otak stadium akhir, dan maaf aku tak pernah berkata hal itu. Aku sudah cukup bahagia, hidup serumpun denganmu dalam rumpun ketidak sempurnaan, di mana kau yang menyadarkanku bahwa kita cukup sempurna untuk saling melengkapi.
            Gerimis di penghujung hariku, benar jika aku mencintaimu lebih dari seorang teman. Sayangnya aku tak bisa mencintaimu dengan fisik nyata, maka aku akan mencintaimu dalam setiap penglihatanmu yang kita bagi bersama.
            Sayang, jika kau memang ingin memandangku, datang saja ke 1213 East Columbia Street, Seattle, WA, di sebuah rumah yang sedang berkabung duka. Orang tuaku sudah mengetahui tentangmu. Tataplah, aku ada di sana menantimu. Waktuku tak banyak lagi, yang jelas aku mencintaimu dalam rumpun ketidak sempurnaan ini.
Penglihatan yang kubagi denganmu,
Ryu Ozuke Army

            Spechless, aku tak dapat berkomentar apapun lagi. Aku temannya dan aku tak mengetahui hal itu. Tetesan air mata segera menyergap sudut mataku, membentuk sungai kecil di pipiku.
“Sudahlah, aku tahu dia ingin aku sempurna dengan kelebihannya ini, mata indahnya. Setidaknya aku tahu bahwa mata ini milikmu, Sayang. Aku yakin kita akan saling mencintai, dengan cara yang kau sebut tadi. Burung-burung kertas ini akan mengabadikan namamu, tak mungkin kubiarkan kau pergi dari sini,” ucapku dalam hati di penghujung koridor rumah sakit.

Post a Comment

0 Comments