“There is a voice that doesn’t use words. Listen.” – Jalaluddin Rumi
Ada suara yang
tidak menggunakan kata-kata, yaitu suara yang berasal dari hati. Saya selalu
percaya, bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kebaikan. Yang perlu dilakukan
adalah mendengarkan suara-suara kebaikan yang berasal dari hati kita sendiri.
Dompet Dhuafa
adalah Lembaga Amil Zakat milik masyarakat yang berdiri sejak tahun
1993. Saya sendiri sudah sangat akrab dengan lembaga ini. Karena sejak tahun
2019 Dompet Dhuafa telah saya pilih menjadi lembaga yang saya percayakan untuk
menyalurkan zakat dan sedekah saya. Dan pengalaman mengikuti kegiatan Dompet
Dhuafa Volunteer (DDV) merupakan salah satu pengalaman yang akan saya kenang
seumur hidup. DDV ini ialah wadah para relawan yang dinaungi oleh Dompet Dhuafa
untuk menginisiasi atau menjalankan program-program yang berorientasi untuk
membantu masyarakat luas, saya belajar banyak tentang #MenebarKebaikan dari DDV
ini. Dan sampai sekarang, DDV menjadi wadah yang sangat membekas dan banyak
memberikan kesan baik dalam hidup saya.
Kebaikan itu
seperti air yang mengalir, dengan segera menyebar-luas ke setiap celah dan
sudut terkecil. Kebaikan-kebaikan yang ditebarkan ini kelak akan membentuk jaring-jaring
kebaikan yang Insyaa Allah akan menjadi jalan yang saling memudahkan setiap
orang dalam menjalani kehidupannya.
Tahun 2018 saya berprofesi
sebagai guru di salah satu sekolah Islam Terpadu di Kota Medan. Profesi ini
mengantarkan saya untuk bertemu dengan Haris (nama disamarkan) dan kedua
orangtuanya—yang alhamdulillah memberikan pelajaran bagi saya betapa kebaikan
itu, apabila ditebarkan dengan ketulusan dan keikhlasan, sungguh berbuah begitu
manis dan melahirkan jaring-jaring kebaikan yang begitu bermanfaat.
Di suatu pagi, Ayah
Haris menemui saya dan menceritakan perihal Haris yang membuat saya cukup
terkejut saat itu; bahwa Haris bukanlah anak kandung beliau. Tetapi Haris sudah
diangkat oleh beliau sejak Haris masih bayi merah.
Bahkan tanpa dijelaskan,
saya bisa melihat betapa beliau menyayangi Haris seperti anak kandungnya sendiri.
Ayah Haris selalu berkata dengan penuh kelembutan, selalu menjaga perasaan
Haris dan memberikannya kehidupan yang begitu layak seperti anak kandungnya
sendiri. Hal ini yang membuat saya agak terkejut ketika mendengar penjelasan
beliau, sebab dari perlakuan beliau, istrinya, dan anak-anaknya ke Haris,
seolah mereka adalah saudara kandung satu sama lain.
Singkat cerita, malam
sebelum Ayah Haris menemui saya, ternyata beliau memberitahukan kepada Haris
bahwa ia memiliki dua Ayah dan dua Ibu (hanya saja Ibu kandungnya sudah
meninggal sejak melahirkan dirinya). Sepanjang malam Haris tidak bisa tidur. Dan
malam itu ia mengajak Ayahnya untuk shalat Tahajjud.
Di penghujung
shalat, perkataan Haris benar-benar membuat saya tersentuh dan tanpa sadar
meneteskan air mata.
Makasih ya, Ayah.
Makasih ya Allah, Haris dikasih Ayah yang sayang sama Haris. Ayah jangan
tinggalin Haris ya, katanya malam itu.
Kalimat itu juga
yang dikatakan Ayahnya kepada saya. Sungguh, betapa kebaikan, ketika disebarkan
dengan ketulusan dan keikhlasan, membuahkan ketulusan yang begitu mendalam dalam
diri seorang Haris yang masih berusia tujuh tahun. Ayahnya meminta saya untuk
menjaga Haris dan menyayanginya. Beliau takut Haris tersinggung karena ia
menyadari kondisinya saat itu.
Sejak hari itu,
sudut pandang saya berubah 180 derajat. Dua puluh tujuh anak yang saya ajar di
kelas saya, bukan lagi sekadar anak kecil. Tetapi mereka menjadi dunia saya,
yang mengajarkan saya tentang kebaikan, keikhlasan, kesabaran, ketulusan.
Pernah di tengah
jam pelajaran, ketika saya menghampiri meja Haris, ia memegang tangan saya. Awalnya
saya mengira ia ingin menjahili saya seperti biasanya, tetapi sejurus kalimatnya
kemudian membuat saya terpana dan kehilangan kata-kata.
“Umik, Ayah Haris
ada dua. Umik tau?” tanyanya dengan tetap menggenggam tangan saya.
Saya kehilangan
kata-kata. Hanya mampu mengangguk.
“Ayah baik ya Mik
sama Haris. Tapi Haris sayang kok sama dua-dua ayah Haris. Nanti Haris mau
diajak jumpa Ayah Haris yang satu lagi,” katanya lagi.
Mata saya
rasanya berat. Saya hanya bisa mengusap kepalanya saat itu, dan mencium kepalanya.
“Berarti Haris harus bersyukur banyak-banyak sama Allah, ya kan?”
Anak itu
mengangguk.
Singkat cerita, ketika
Haris sakit, ayahnya menemui saya dan meminta izin untuk tidak masuk beberapa
hari. Beliau berencana untuk ke Kolombia karena mengejar seorang dokter yang
tidak lain adalah anak asuhnya juga. Mendengar hal itu, rasa kagum saya kepada
keluarga ini kian bertambah. Betapa dermawan dan tulusnya beliau.
Di lain
kesempatan, Haris kembali izin selama dua hari. Setelah saya tanya-tanya, akhirnya
ayah Haris bercerita, bahwa mereka akan menghadiri wisuda kakaknya Haris di Universitas
Gajah Mada (UGM) Jogja dan Insyaa Allah akan menyelenggarakan acara lamaran
karena ada seorang lelaki yang berniat menikahi kakak Haris. Saya bertanya
lebih jauh lagi dan mendapatkan jawaban bahwa kakak Haris inipun anak asuh
keluarga mereka.
Betapa banyak
anak asuh keluarga ayah Haris. Setiap dari mereka meraih kesuksesan dengan
jalannya masing-masing. Dengan kesuksesan itu pula mereka saling membantu
anggota keluarga lainnya dan orang-orang di sekitarnya. Meski Haris, kakaknya
yang di UGM, abangnya yang menjadi dokter di luar negeri, dan anak-anak yang
lainnya bukan saudara kandung, tetapi ayah Haris berhasil membuat mereka merasa
saling memiliki dan saling peduli selayaknya saudara kandung.
Saya belajar
banyak sekali dari keluarga mereka. Bahwa menebarkan kebaikanpun harus disertai
ketulusan dan keikhlasan. Tanpanya, mungkin anak-anak asuh ayah Haris tidak
akan meraih kesuksesan dalam kehidupan mereka. Kebaikan yang disertai dengan
doa, rasa kasih sayang, ikhlas, menjadikan anak-anak ini tumbuh dengan
pemahaman yang baik dan kebaikan hati yang tidak terbatas.
Selama menjadi Volunteer
di Dompet Dhuafa, saya belajar bahwa #MenebarKebaikan untuk kemaslahatan umat. Dan
dari profesi saya sebagai guru, saya melihat langsung bukti nyata bagaimana jaring-jaring
kebaikan bekerjasama untuk membentuk buah-buah kebaikan dalam hati setiap
manusia.
Ayah Haris
adalah orang asing sebelum saya bertemu dengan beliau. Pun Haris, hanya sekadar
anak didik saya di kelas. Tetapi, perkataan Haris dan rasa syukurnya itu telah menyederhanakan
bentuk syukur saya, membuat saya menemukan bentuk nyata dari kebaikan berbagi
yang ditebar.
Abang dan kakak
Haris hanyalah sebatas cerita yang saya tahu. Tetapi merekapun pasti akan belajar
bagaimana memudahkan kehidupan orang lain, sebab ayah Haris telah menjadi jalan
untuk kesuksesan mereka dan memberikan contoh nyata melalui diri mereka
sendiri; bahwa kebaikan yang disebarkan ayah Haris kepada mereka, disertai
ketulusan dan keikhlasan, telah membentuk diri mereka dengan kesuksesan yang
menyertai mereka.
Semoga kebaikan berbagi
ini juga tidak hanya terhenti pada cerita saya tentang keluarga angkat Haris. Jika
kita belum bisa menebar kebaikan seperti ayah Haris, kita bisa menebarnya dengan
orang-orang terdekat kita, kan? Mengantar takjil kepada tetangga, menyingkirkan
benda-benda yang menghalangi jalan, atau sekadar mengucapkan kalimat “Aku
Menyayangimu” pada orangtua kita.
Mumpung Ramadhan,
nih, mari semangat #MenebarKebaikan. Semoga Allah SWT segera menyembuhkan
bumi kita, lewat kebaikan-kebaikan yang kita sebarkan, atau doa-doa yang kita
panjatkan.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan
yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa
1 Comments
JOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
BURUAN DAFTAR!
dewa-lotto.name
dewa-lotto.cc
dewa-lotto.vip