Perjalanan kali
ini ditemani hujan, yang diawali gerimis sendu, dan diakhiri kuyup haru. Hujan.
Sesuatu bagi semesta, namun segala bagi seseorang. Dan ya, setiap orang
memaknai hujannya masing-masing. Ada yang mengingatnya sebagai tetesan restu
Sang Maha atas cinta seluruh semesta yang direngkuhnya dari satu wujud makhluk;
putra Adam atau putri Hawa yang baru saja jatuh dalam buaian rasa. Ada yang
mengenangnya sebagai serapah para iblis yang diusir dari nirwana, membawa duka
dan petaka tanpa jeda. Ada pula yang meresapinya sebagai sendu para malaikat
berhati tabah, serupa malam yang bertaburan gemintang; tenang, senyap,
temaram—seperti kemarau yang merindukan penghujan, yang setiap detiknya diisi
keikhlasan dan ketulusan; akan ketiadaan dan kehampaan.
Padahal aku tak
bermaksud mengunjungi kenanganmu, merindu sekali lagi untuk kurun waktu yang
tak tahu diri. Tapi ternyata hujan jauh lebih memiliki kuasa atas hatiku, atas
hari-hari telah lalu yang berisikan namamu. Aku berteduh di atap sebuah ruko
kosong. Perjalanan setengah jam ini telah menyita banyak kenangan dan ingatan,
semua karena hujan dan Banda Neira.
Tentang dulu,
yang kita habiskan dengan bergelas-gelas kopi. Dan semua tawa kita tertumpuk di
sela-sela buku cerita. Dalam diam, aku membungkus seluruh perasaan yang mekar
di dada kiri, menyelipkannya dalam kitab-kitab dongeng, agar tak terbaca
olehmu.
Tentang aku,
yang terlalu mengiba pada waktu, agar tak berlalu dan meninggalkan rindu. Dalam
ketidaktahuanmu kutatap kamu sambil tersipu, sesekali mengkhayal dongeng
pengantar tidur yang sering dibacakan ibuku, dan seringkali merapal doa agar
jawabannya kamu.
Tentang kamu, yang
mahir meramu rindu dalam jeda tatapan senja, dalam bait kata tanpa koma, dalam
barisan aksara tanpa tanda baca. Yang berjiwa semesta, yang dalam tatapnya
selalu bersemayam senja yang sendu, yang tiap tutur katanya selalu dipenuhi
rindu; entah apa, entah pada siapa.
Dalam dadamu bersemayam samudera luas, yang entah mengapa tak pernah
kulihat seorangpun menepi di dermaganya. Dan aku selalu menjadi yang ingin
berlabuh di sana.
Lima belas menit
hujan yang mengguyurku. Sejam kemudian akan kuhabiskan dalam gigil lembab
bajuku. Lima belas menit proyektor kenangan memutar di kepalaku, sepanjang sore
hingga pagi menjelang, kamu akan menjadi sosok yang teramat menyesakkan sukma;
dirindukan, dikenang, dinantikan.
Begitu saja,
semesta membentuk wujud rinduku padamu sore ini. Sebuah perjalanan singkat, lewat hujan dan lantunan lagu Banda
Neira. Dan kamu kekal sepanjang minggu hingga aku melupa nanti—jika kesibukan
telah menelan pikiran dan jiwaku dari rupamu yang teramat kurindu.
0 Comments