“Kita harus menyelesaikan semua urusan sebelum pergi, berlalu, dan meninggalkan
sesuatu untuk selamanya..”
Pukul 20.30 :
Saat semua waktu mengkristal…
Detik ini rasanya mengkristal. Aku menatapmu dengan jarak
tidak lebih dari dua meter, dengan benteng malam, dan temaram cahaya kecil dari
kunang-kunang yang sedang ramai menyaksikan kita berdua.
Ada rasa
yang bergejolak di hati. Antara keberuntungan, yang meliputi kerinduan,
bahagia, haru dan cinta yang terasa sangat klasik. Adapula kesialan di sisi
lain, yang meliputi penyesalan, sedih, tak ingin bertemu, dan sia-sia. Aku merutuki
diriku sendiri, saat tak juga memalingkan pandanganku, dan menarik tubuhku dari
tempat itu.
Apalagi
yang harus kuucapkan? Terlalu banyak kalimat yang berdemo di hatiku, bersiap
meluncur melalui mulutku. Bersungut-sungut untuk meminta jawaban.
Haruskah
aku berkata ‘Hai’, setelah dua tahun tak bertemu denganmu? Atau aku harus
berucap ‘Apa kabar?’, sedang aku tahu kau tampak baik-baik saja. Dan, kalimat ‘Bagaimana
dengan hidupmu. Kapan menikah?’, haruskah kalimat itu? Ya, kurasa harus.
Malam ini
semuanya harus selesai.
Malam ini
aku harus menyudahi permainan selama dua tahun ini.
Malam ini,
tak akan ada lagi cinta yang terselubung.
Malam ini,
bersama kunang-kunang yang sedang berpesta di pematang sawah,Yogyakarta..
****
Hari itu, aku mengenalnya saat tahun menjelang penghujung. Ketika
kunang-kunang sedang semangat-semangatnya berpijar.
“Danar
Danar..” ucap lelaki itu menyebutkan namanya.
Aku
tergelak, setengah tak percaya. Namanya begitu unik, lucu. Satu nama yang
diulang dua kali. Benarkah itu nama lengkapnya?
“Tania..”
Aku menjabat tangannya. Tersenyum simpul.
Perbincangan
terus berlanjut dengan berbagai topik pembahasan. Pertanyaan tentang hidup,
impian masa depan, hingga rencana ke depannya dalam hidup kami. Semua kami
lahap hingga malam semakin tumbang.
Dari situ,
aku melihat ada yang begitu menarik darinya. Wajahnya yang menyenangkan,
tatapannya yang tegas, tawanya yang renyah, dan.. suaranya. Begitu indah,
hingga, kupikir, kunang-kunang pun akan berderet, berjajar rapi mengadakan
karnaval dan mengikuti perkataannya setiap kali mendengar suaranya.
Dari sana,
aku melihat sebuah pendar yang sangat indah. Yang membuatku berdecak kagum
setiap kali melihatnya. Yang membuatku merasa nyaman setiap kali menatapnya.
****
Pukul 20.35 :
Saat kalimat pertama terucap..
“Hai..” kataku setengah menggumam. Ragu, antara ingin
menghilang dari hadapannya dan menetap di sana, tinggal, dan menatapnya lebih
lama.
“Hai..”
balasnya dengan senyum menjuntai.
Ya tuhan..
senyum itu.. aku menggumam dalam hati. Namun, di sisi lain, aku melihat sesuatu
yang berbeda. Sinar di matanya meredup, meski wajahnya masih menyenangkan
seperti dulu. Ada aura yang lenyap dari keteduhan wajahnya. Ada keraguan dalam
sorot matanya, tidak setegas dulu lagi.
“Bagaimana
kabarmu..?” Aku kembali bertanya dan mulai memotong jarak di antara kami.
“Baik..
Kamu?”
Ia masih
berdiam di tempatnya.
“Baik
juga. Bagaimana dengan Rhein?”
Matanya
seketika memandangku, saat aku menyebutkan nama wanita itu, Rhein.
“Dia…
baik…” ucapannya terbata.
Aku menelan
ludah. Setengah meragu harus membahas ini atau tidak. Tapi, kalau tidak
sekarang, kapan lagi? Kalau aku benar-benar ingin pergi, harusnya aku
menuntaskan masalah ini sejak dulu. Bukannya malah berlari dan meninggalkan dia
bersama masalah ini. Hingga kini, yang ada, aku, dia dan Rhein terjebak dalam
situasi rumit.
“Kudengar,
kamu sudah jarang pulang ke rumah, ya? Ke mana aja..?” Aku menelan ludah sekali
lagi.
Kuseret
tatapanku, mencuri mili untuk melihat ekspresinya. Sayangnya, wajahnya masih
tertunduk. Dalam.
Menit-menit
selanjutnya berlalu dengan percuma. Ia hanya tertunduk. Diam.
“Kamu..
kenapa meninggalkan Rhein begitu saja? Aku kenal kamu, dan kutahu, kamu bukan
tipe yang seperti itu. Apa.. ada masalah besar yang sedang kamu hadapi?” Aku
bertanya lagi.
Reaksinya
masih sama. Menekuk wajah dalam-dalam. Tertunduk. Bergeming. Diam.
Aku bersabar,
menunggu kata-kata darinya. Namun, aksi bisu ini terus berlanjut. Aku mulai
jengah dengan keadaan ini. Dia benar-benar berubah. Sesuatu yang buruk terjadi
dengannya.
“Kamu…”
Aku menahan napas sejenak. Meragu. “Mencintaiku..?” tandasku seraya menelan
ludah.
Wajahnya
terangkat. Menatapku sejenak. Kemudian tertunduk lagi.
Dadaku menyesak
melihat perlakuannya seperti ini. Aku masih ingat dengan jelas, saat liontin
itu menjadi berarti bagiku.
****
“Happy Birthday,
Tania..” ucapnya seraya menyerahkan sebuah kotak perak.
Aku sumringah.
Kubuka kotak perak itu. Dan di sanalah aku menemukan liontin putih yang sangat
indah. Hadiah ulang tahunku yang terindah.
Dia memakaikan
liontin itu ke leherku dan berkata, “Selamat ulang tahun, Tania.. Semoga kamu
suka..”
Siapa yang
tidak akan suka jika diberi liontin saat hari ulang tahunnya oleh seseorang
yang dicintainya?
Awalnya
aku senang, sebelum aku melihat liontin yang sama melingkar di leher Rhein,
juga di lehernya.
Bukan hanya
ada dua liontin kembar, melainkan tiga.
Hatiku pupus.
Mendung berguling, melimpahkan hujan dan badai di hari ulang tahunku. Liontin itu
tidak istimewa.
****
Pukul 20.45 :
Liontin dan kunang-kunang..
“Jawab, Danar! Jawab!” Aku setengah berteriak kepada lelaki
itu.
Dia masih
saja bergeming. Meski aku telah mengguncang-guncang tubuhnya.
Aku semakin
geram. Hatiku memanas. Aku tak tahan lagi. Jauh-jauh aku kembali ke kota ini,
tepat saat kunang-kunang sedang ramai-ramainya bermain di sawah, di tempat ini,
saat pertama kali kami bertemu, dan dia hanya mendiamkanku seperti ini?
“Mana? Mana
liontin itu?” Suaraku terdengar mulai serak.
Setengah mati aku menahan sakit yang menghunjam tenggorokanku, yang
menyekat semua kalimatku.
Dia menghela
napas. Tak berani menatapku.
Aku melirik
lehernya, dan kulihat sesuatu berkilau di sana. Kutarik paksa liontion itu
hingga terlepas dari lehernya.
Kulepaskan
liontin milikku. Aku membalik kedua liontin itu dan menyocokkan sebuah ukiran
yang ada di belakangnya. Jika keduanya digabungkan, maka kalian akan melihat
ukiran kunang-kunang yang begitu indah. Siapa lagi yang tahu arti penting
kunang-kunang selain aku, dan dia?
“Ini!
Lihat ini!” Suaraku menggelegar. Isak tangisku mulai terdengar. “Kamu lihat
ini, Danar! Liontin ini istimewa, bukan? Selalu istimewa!”
Dia menatap
liontin itu, tapi tidak menatapku.
“Danar..
kumohon.. beri penjelasan padaku.. kumohon, Danar..”
Tungkaiku
melunglai. Aku terduduk di tanah.
****
“Tania, kemarin, saat kami main futsal bareng, Danar
menitipkan sebuah liontin yang sama dengan punyamu dan Rhein. Hanya saja, aku
menemukan sebuah ukiran, yang jika kuingat-ingat dan kuhubungkan dengan
punyamu, maka akan menjadi satu bentuk yang sempurna. Kunang-kunang..” Ucap Eko,
teman kerjaku saat aku pindah ke Singapura.
Eko juga
mengenal Danar dengan baik. Dari dialah aku menerima semua cerita tentang
Danar. Tentang keterpurukannya saat ini.
“Liontin
itu selalu istimewa, Tania..” tandas Eko.
Aku semakin
tertunduk. Lemas.
****
Pukul 20.50 : Cinta
terpendam selama enam tahun…
“Apalagi yang mau kamu sembunyikan, Danar?! Apalagi? Tak cukupkah
kamu menyiksaku selama enam tahun ini?
Tak cukupkah?!” Aku berkoar. “Enam tahun aku mencintaimu, dan kamu hanya
diam saja? Meski kamu tahu bagaimana aku dan perasaanku tumbuh untukmu!”
Hidungku
terasa sesak. Tak bisa menghirup oksigen. Air mata sudah membanjiri pipiku,
sedang dia masih berdiam diri dengan sejuta perasaan yang ditutupinya
dalam-dalam.
****
“Tania, minggu depan aku bertunangan dengan Rhein. Kumohon,
datanglah. Aku sangat mengharapkan kehadiranmu.”
Danar mendatangiku
dengan sebuah undangan bersampul biru muda.
Aku terperangah.
Letupan hatiku serasa dibanjur air es. Dingin. Beku. Membuatku bergetar
menggigil. Dengan sisa kekuatanku, aku meraih undangan itu.
Sejak saat
itulah, aku memutuskan pindah kantor ke Singapura, dan takkan mencarinya lagi
dengan alasan apapun.
****
Pukul 21.00 :
Semua cerita usai…
Aku masih sesenggukan. Membuang ingus yang sudah meleleh. Mataku
sudah merah sejak tadi. Panas. Air mata ini benar-benar menyiksaku. Perasaan ini
benar-benar menyesakkan.
Aku menghapus
air mata. Berusaha bangkit dan berdiri tepat di hadapannya. “Katakanlah, Danar.
Katakan kalau kau mencintaiku! Katakan kalau kau sangat sangat mencintaiku! Katakan,
Danar!” Aku membentaknya dengan suara yang terdengar sengau.
Dia masih
saja diam.
“Enam
tahun, Danar! Enam tahun aku menyimpan perasaan ini untukmu. Dua tahun terakhir
aku hijrah, aku menjauhimu. Dua tahun aku memutar jalan yang begitu jauh, hanya
untuk pergi darimu! Dua tahun pula aku merasa usahaku sia-sia..
“Jangan
bodoh, Danar! Adikmu saja tahu tentang perasaanku padamu. Bagaimana mungkin,
kau yang jauh lebih dewasa darinya tak bisa mengenali cinta yang sejak awal
sudah tumbuh untukmu? Bagaimana bisa?
“Jika
aku bisa menerima cintaku yang tumbuh untuk saudara sepupuku sendiri, meski aku
berulang kali menghindarinya, bagaimana mungkin kau melakukan hal yang lebih
menyedihkan?! Jangankan menghindar, kau bahkan tak terima dengan perasaan itu!
Kau munafik,Danar!
“Bukan
salah kita, Danar! Kita yang tak pernah bertemu sejak kecil. Hingga enam tahun
lalu aku bertemu denganmu di sini. Dan sejak itu aku mencintaimu. Namun, dua
tahun kemudian, aku harus menelan kenyataan pahit karena kau saudaraku! Kau saudaraku,Danar!
Sadarkah kau apa artinya itu?
“Cinta
ini salah? Iya, Danar. Ini salah! Tapi lebih
salah jika kau memendam rasa itu dan akhirnya membuat pertunanganmu dengan
Rhein berantakan seperti ini. itu yang semakin menyalahkan keadaan ini, Danar!”
Suaraku melengking serak. Kali ini benar-benar lenyap.
Aku masih
terisak. Menahan badai yang bergemuruh di hatiku. Mengartikan setiap tetes
hujan lebat yang mengguyur hatiku, yang mengundang petir bergelegar, kilat
menyambar. Sedang Danar, dia masih diam. Dia tetap diam. Aku benar-benar muak!
“Danar..
untuk terakhir kalinya… Kumohon.. Jujurlah, di hadapan kunang-kunang itu,”
tanganku menunjuk kunang-kunang yang sedang menyaksikan kami dari sawah
seberang. “Katakan, kalau kau mencintaiku… meski kutahu, itu takkan berarti
apa-apa lagi.”
Setengah
mati aku mencoba bertahan dengan kebisuannya. Semakin menjengahkan hatiku. Semakin
tak kuasa aku menahan cinta ini.
Aku beranjak
pergi. Baru beberapa langkah, samar-samar kudengar suaranya, “Aku mencintaimu..”
Langkahku
terhenti.
****
Pukul 07.00 :
Selamat tinggal, kunang-kunang..
Aku berdiri di depan Bandara Adi Tsucipto Yogyakarta. Sekali
lagi kusapu bersih pandanganku ke sekitar. Menghirup udara Jogja dalam-dalam.
Untuk terakhir
kalinya, aku melihat kunang-kunang tadi malam. Untuk terakhir kalinya pula, aku
menjejakkan kaki di kota ini.
Suara
panggilan penerbangan sudah terdengar dari Information
Center. Aku melangkah dengan gegap gempita. Yakin.
****
1 Comments
hi salam kenal, hati hati di plagiat loooh miss kunang kunang hihihih
ReplyDeletenice tapi terlalu berbelit gambaran storiettenya itu mnurutku
but keseluruhan keren
btw itu menurutku yaaa, belum tentu menurutku itu tapi menurut orang lain beda lagi
salam kenal
blogger medan community