Rindu selalu menjadi jalan yang membawa langkah seseorang untuk pulang. Sejauh apapun pergi, sesakit apapun hati, rindu selalu mampu mengembalikan seseorang yang pergi, merantau, memutar arah, bahkan menghindar. Rindu selalu begitu; magis dan harmonis.
Tetapi.. tidak jarang pula sebuah duka yang membawa seseorang kembali ke kampung halaman. Kiranya bagi perantau, hal ini menjadi lumrah. Pergi membawa harapan, bahwa ketika pulang, segalanya menjadi lebih baik. Harapan bahwa dengan membawa segunung rindu yang menumpuk di dada, akan bersambut rentangan tangan yang siap memeluk. Harapan bahwa… pertemuan akan menjadi manis setelah kepergian panjang yang dilalui. Nyatanya, bagi perantau, pulang tak melulu manis. Tidak selalu dipenuhi tawa dan dibumbui canda. Terkadang, pulang menjadi momen penuh penyesalan, tangis dan duka.
Pagi itu masih terlalu merah jambu. Adzan baru saja usai berkumandang. Dan sebuah panggilan telepon yang entah sudah berapa kali tidak terjawab oleh saya, untuk kesekian kalinya, akhirnya terangkat oleh saya. Kesadaran yang belum utuh, malam yang terlalu suntuk dan sulit tidur, pikiran yang penuh, dan kabar duka yang terdengar dari seberang telepon. Pagi yang buruk untuk jiwa yang merindu. Setelah setengah tahun lebih menahan rindu, dengan harapan dan rencana besar yang sudah disiapkan untuk pertemuan di tahun depan, nyatanya pagi itu, Allah berkehendak lain. Dan beberapa jam kemudian, saya menjadi salah satu perantau yang pulang karena duka.
Sebagai perantau yang menetap di pulau, untuk menjangkau kota Medan bukan hal yang mudah. Ditambah pandemi yang menyebabkan jam keberangkatan kapal berkurang, jam penerbangan berubah, dan drama yang lainnya, membuat mood dan jiwa saya benar-benar tertekan. Belum lagi, keharusan memiliki surat rapid test. Dan ya, pagi itu, saya belum memiliki apapun untuk pulang; selain keinginan untuk tiba di Medan secepat yang saya bisa.
Rasanya masih seperti mimpi. Kali ini, saya benar-benar pulang karena duka. Lelaki tua yang beberapa kali saya ceritakan di postingan Instagram—yang tidak lain adalah kakek saya, telah dipanggil Allah swt pagi itu. 07 Oktober 2020 menjadi pagi yang paling memilukan bagi saya. Sebab saya tahu, betapa lelaki tua itu merindukan saya melebihi siapapun di dunia ini. Dan saya, belum juga menemuinya setelah tujuh bulan berlalu.
Apalagi yang tersisa dari perantau yang menempuh perjalanan pulang karena duka, selain penyesalan? Begitu saya pagi itu. Tidak ada yang lain selain penyesalan. Ditambah lagi hari itu, entah mengapa, saya mabok sepanjang jalan. Naik ferry mabok, naik taksi mabok, naik pesawat pun mabok. What a complicated day!
Saya tahu, sejak saya membuat keputusan untuk pulang pagi itu, bahwa secepat apapun saya usahakan, saya tetap tidak bisa melihat lelaki tua itu untuk terakhir kalinya. Tetapi biarlah, rindu ini butuh dilerai. Maka bagi saya, melihat tanah kuburannya yang masih merah dan mengirimkan sebaris doa pun sudah cukup. Sudah membuat saya bersyukur.
Dan benar saja, saya tiba di Medan sudah sore. Sesampainya di rumah, mamak memeluk saya. Dan lelaki itu, lelaki yang beberapa bulan lalu menikahkan saya, memeluk saya erat. Membisikkan kata-kata untuk menguatkan. Lelaki itu bapak saya. Tidak lama setelah itu, saya langsung diantar ke makam kakek.
Keesokan harinya, hati saya masih kalut. Berulang kali saya melihat foto saya yang dipajang bapak di atas TV. Dan berulang kali pula mamak saya berkata, “udah nggak ada lagi yang nawarin fotomu makan. Kakek tiap mau makan, pasti nawarin makan ke fotomu, bukan ke kami yang ada di sini. Kakek rindu kali samamu”. Kalimat ini pula yang selalu mampu membuat saya kembali meneteskan air mata. Dan hari itu, saya baru tersadar, bahwa saya sudah telat tiga atau empat hari. Seharusnya jadwal haid saya sudah datang beberapa hari lalu, bahkan sebelum saya pulang ke Medan. Akhirnya, tanpa sepengetahuan suami, saya membeli tespack.
Keesokan paginya saya memakai tespack itu dan…. dua garis merah! Saya masih nggak percaya. Akhirnya saya tunggu suami sampai bangun subuh (saya bangun pukul 03.30 pagi itu, jadi harus menunggu satu setengah jam lebih hingga subuh). Setelah suami bangun, saya jelaskan perihal tespack itu. Dan suami juga nggak percaya. Bukan kami tidak senang atau bersyukur, mungkin karena kami terlalu senang, apa yang kami tunggu-tunggu akhirnya tercapai, maka pagi itu ekspresi kami menyimpulkan ketidakpercayaan karena kami senang. Dan kami memutuskan untuk mencari dokter kandungan hari itu juga. Saya merasa saya harus memastikan kehamilan saya, sebab saya akan menempuh jalan jauh lagi minggu depan.
Setelah tanya sana-sini, Alhamdulillah ketemu dokter yang saya rasa pas. Sore harinya saya dan suami pergi cek kandungan. Antrean cukup panjang, padahal malamnya masih ada acara tiga malam kakek. Setelah menunggu, nama saya dipanggil ketika maghrib. Saya menjalani USG, dan hasilnya kantongnya belum kelihatan. Tetapi bakal kantong tempat janin sudah kelihatan. Karena masih belum bisa dipastikan, akhirnya dokter memberikan vitamin dan obat penguat. Saya juga sudah menjelaskan bahwasanya saya akan melakukan perjalanan jauh minggu depan, dan dokternya bilang Insyaa Allah aman. Saya sedikit lega.
Saya dan suami pulang. Tetapi acara tahlilan sudah selesai ketika kami tiba di rumah. Tinggal beberapa keluarga. Saya merasa, malam itu semuanya berkumpul dan ramai. Saling menguatkan, saling mendoakan. Dan saya berinisiatif membeli Mi Aceh untuk makan beramai-ramai (karena saya dan suami juga sudah sangat lama nggak makan Mi Aceh—nggak ada yang enak di sana). Kami makan beramai-ramai. Menyenangkan sekali rasanya malam itu. Dan bapak saya meminta sepupu saya untuk mengabadikan momen berkumpul itu. Sepupu saya pun segera mengambil beberapa foto dan sebuah video.
Saya ingat betul, bapak saya berkata, “Di-videoin lah ini, lagi ngumpul rame-rame. Besok-besok udah nggak ngumpul lagi.”
Bapak memang menyenangkan. Selalu penuh bercandaan. Semua orang menyukainya.
Setelah bubar, saya dan suami kembali melihat hasil USG di kamar. Dan saya juga meminum vitamin yang diberikan. Malam itu saya merasa, bahwa dalam tangis pun, Allah swt ingin kita tetap bersyukur.
0 Comments