“Kamu jangan lupa makan, ya. Sebab pura-pura bahagia itu butuh tenaga ekstra.”
Pura-pura bahagia.
Sering dengar
temen kamu ngomong gitu ke kamu?
Kenapa bahagia aja
harus berpura-pura?
Ibnu Juraij mengatakan, “Orang munafik ialah orang yang omongannya menyelisihi tindak-tanduknya, batinnya menyelisihi lahiriahnya, tempat masuknya menyelisihi tempat keluarnya, dan kehadirannya menyelisihi ketidakadaannya” (‘Umdah At-Tafsir I/78).
Sumber : https://muslim.or.id/24989-mewaspadai-sifat-munafik-2.html
Kalau merujuk ke
atas, Allah SWT tidak suka dengan segala kepura-puraan. Terus, pura-pura bahagia
itu, kira-kira Allah suka nggak ya?
Perasaan senang,
sedih, bahagia, marah, kecewa, semuanya merupakan retakan perasaan yang dibutuhkan
setiap manusia. Kalau kamu nonton film Inside Out, di mana si Sadness selalu
dijauhi dan dilarang megang kendali atas emosi si tokoh utama di film tersebut—Riley.
Kita sebenarnya bisa mengambil kesimpulan di akhir filmnya; bahwa setiap
retakan perasaan itu punya peranan masing-masing yang sama pentingnya. Si Joy yang
terjebak di semesta luas pikiran Riley selalu merasa bahwa si Sadness hanya
akan membuat Riley menjadi bersedih. Tetapi ternyata dia salah. Ketika dia
memegang salah satu bola ingatan Riley di mana Riley merasa senang didampingi
orangtuanya, ternyata sebelumnya ada sebuah kejadian di mana Riley merasa sedih
atas kegagalannya. Hal itu yang membuat orangtuanya dan teman-teman di
sekitarnya berusaha menyemangati Riley hingga ia kembali bahagia. Apakah
perasaan sedih ini membuat ia dikasihani? Tentu tidak. Itu bentuk pengertian
dan kesadaran bahwa manusia ini makhluk sosial; kita terkadang butuh orang lain
yang terlibat dalam melerai setiap retakan perasaan milik kita.
Terus,
hubungannya sama pura-pura bahagia tadi apa?
Begini, di paragraf
atas kita sudah bersepakat bahwa segala retakan perasaan itu adalah kebutuhan
kita, termasuk perasaan bahagia ini. Apakah sesulit itu untuk menjadi bahagia hingga
kamu harus berpura-pura? Jangan salah, pura-pura bahagia ini seolah menyiratkan
bahwa kamu amat sangat tidak bahagia dengan hidupmu, seolah segala hal dalam
hidupmu dipenuhi kesedihan, ujung-ujungnya kamu jadi terlihat tidak bersyukur
dengan hidupmu.
Padahal ada
pepatah yang mengatakan bahagia itu sederhana. Tinggal bagaimana kamu mengartikan
kata ‘sederhana’ ini. Kalau mau ditarik lebih dalam lagi, sederhana ini adalah
rasa syukurmu terhadap Allah SWT, Tuhan Yang Maha Menciptakan segalanya.
Apa hal yang
tidak bisa membuatmu bahagia?
Tidak bahagiakah
kamu diberikan orang-orang baik yang selalu berada di sekitarmu?
Tidak bahagiakah
kamu diberikan kesehatan hingga bisa melakukan segala aktivitas?
Tidak bahagiakah
kamu diberikan kesempatan untuk membahagiakan orang di sekitarmu?
Tidak bahagiakah
kamu diberikan waktu untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu?
Atau… tidak
bahagiakah kamu setiap pagi kamu terbangun dari tidur, dan menyadari masih
diberikan hidup sehari lagi?
Ada banyak
sekali alasan untuk bahagia. Atau sekiranya kamu sedang berada di titik terberat
hidupmu, apalagi kamu tipe orang yang tidak bisa mengungkapkan apa yang kamu rasakan,
bahkan kamu lebih senang memendam apa yang kamu alami, tentu hal ini akan
membuatmu depresi.
Setiap dari kita
tentu punya cerita masing-masing dalam hidup ini, tentang titik terberat dalam
hidup yang telah dan akan kita hadapi. Tetapi apakah lantas harus berpura-pura bahagia??
Tentu tidak. Ketika kamu tidak bahagia, rasakanlah ketidakbahagiaan itu. Nikmati
ketidakbahagiaan itu hingga kamu benar-benar menginginkan dirimu untuk bahagia,
dan pada akhirnya kamu melakukan effort lebih agar kamu bisa mendapatkan
‘bahagia’ yang kamu inginkan.
Kalau ada
istilah pernah mengatakan, berpura-pura bahagialah hingga kau lupa kalau sedang
berpura-pura atau berpura-puralah mencintai hingga kau lupa kalau sedang berpura-pura.
Maaf, aku
mungkin berada di barisan yang kurang setuju dengan hal itu. Kapan kamu akan
berhenti menyadari kalau kamu sedang berpura-pura?
Setiap pagi,
ketika terbangun, kamu akan teringat untuk kembali mengulangi rutinitas pura-pura
itu tadi dan merasa bosan hingga depresi sendiri bahkan sebelum kamu memulai
harimu, sebelum kamu menginjakkan kakimu ke lantai. Dan di setiap malam ketika
akan tidur, kamu akan bersyukur sejenak beristirahat dari kepura-puraan itu.
Jadi, di jeda waktu yang mana kamu akan lupa kalau kamu sedang berpura-pura?
Pura-pura itu
selalu memberikan tekanan dalam hidup. Pura-pura bahagia di depan orang lain,
kamu akan tertekan ketika sendiri. Pura-pura mencintai orang lain karena alasan
A, kamu akan tertekan tiap akan bertemu dengannya. Pura-pura baik-baik saja di
depan temanmu, kamu akan tertekan dan menangis ketika sendiri. Kenapa?? Karena kamu
akan merasakan lelah yang teramat. Pura-pura itu tidak pernah sesederhana
istilah di atas.
Berterus
teranglah pada diri sendiri. Penerimaan terhadap diri sendiri tentu akan
membuatmu berdamai dengan keadaanmu. Kalau sedih, rasakan sedih itu hingga
mendalam. Rasakan setiap sesak yang memenuhi rongga dadamu, hingga kamu merasa
cukup dan tidak ingin merasakan kesesakan atas sedihmu itu, dan kamu akan
berjuang agar kembali bahagia. Kalau marah atau kesal, rasakan sepuasnya, resapi
keinginan untuk mengamuk yang berkecamuk di dadamu, hingga akhirnya kamu merasa
lelah dan menyadari bahwa marah dan kesalmu tidak membawa apapun selain kerugian
terhadap dirimu sendiri, hingga akhirnya kamu akan belajar mengontrol amarahmu
demi kesejahteraan hati dan dirimu sendiri. Kalau kecewa, rasakan kecewamu
sedalam-dalamnya. Jejaki setiap retakan perasaan yang mengecewakan itu, hingga
akhirnya kamu tersadar bahwa kecewa itu berasal dari harapanmu yang kamu
gantungkan kepada manusia. Dan kedepannya, kamu akan menyadari bahwa tiada
tempat berharap terbaik selain kepada Allah.
Bisa dilihat kan?
Setiap dari kita bertanggungjawab atas perasaan kita sendiri. Kecewamu disebabkan
oleh ekspektasi dan pengharapanmu sendiri. Sedihmu juga tidak jauh-jauh dari
ekspektasi dan pengharapanmu. Begitu juga amarah, senang, bahagia, dan lainnya.
Kita yang bertanggungjawab, orang lain tempat kita letakkan pengharapan itu
hanya menjalankan tugasnya untuk berusaha mengerti tentang pengharapanmu. Mereka
BERUSAHA, tentu standar antara kamu dan mereka berbeda. Jadi tetap saja, yang
bertanggungjawab atas perasaan itu ya kita sendiri.
Pencapaian
tertinggi dari semua penerimaan yang kamu lakukan terhadap retakan-retakan
perasaan itu adalah keikhlasan. Tentu kita tahu ikhlas adalah ilmu yang paling
sulit untuk dipelajari. Langkah kecil yang bisa kamu lakukan untuk menjemput
ikhlas itu adalah dengan menerima dirimu sendiri dan berhenti berpura-pura.
Sulit? Tentu saja.
Tetapi di suatu
hari nanti, kamu akan menemukan dirimu yang akan jauh lebih dewasa dengan hati
yang teramat lapang. Ketika dikecewakan, kamu sudah bisa berkata, “ya sudah,
namanya juga manusia” dan memaklumi kekecewaan itu. Hingga perasaan itu tidak
berlarut-larut tinggal di hatimu. Ketika sedih, kamu sudah tahu harus melakukan
apa untuk kembali bahagia. Kamu akan jauh lebih memahami dirimu dan akan lebih
mudah bagimu untuk menghadapi dan menyikapi segala retakan perasaanmu.
Ketika akan ada
banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginanmu, kamu tidak lagi akan
menyalahkan hidupmu, atau memaki keadaanmu, atau sampai-sampai menganggap Allah
itu tidak adil. Kamu akan berhenti menyalahkan orang lain atas ketidaksesuaian
yang terjadi dalam hidupmu. Kamu akan lebih menerima segala hal yang terjadi
dalam hidupmu, baik ataupun buruk.
Apakah aku sudah
berhasil melakukan semua itu? Belum. Tetapi aku sudah memulai hal itu.
Jadi, kapan kamu
berencana untuk berhenti berpura-pura?
1 Comments
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
arena-domino.club
arena-domino.vip
100% Memuaskan ^-^