BRUUKK!!
Suara berdebum terdengar jelas, seperti
benda yang dijatuhkan dari ketinggian sekian ratus meter, lalu disusul gemerisik
dedaunan yang bergoyang seketika.
“Aduuhh!!”
Terdengar suara mengaduh dari
balik dedaunan yang masih terus bergoyang, seolah tidak bisa tenang.
“Awas saja kalau aku bertemu
dengan penyihir jelek itu, akan kucincang tubuhnya dan kuberikan kepada
kucingku,” sambung Kathleen—Putri Liliput yang sudah seminggu ini menjelajah
Hutan Berkabut demi menemukan penyihir yang sudah mengutuknya hingga menyusut
sekecil itu.
Tubuh Kathleen tak lebih tinggi
dari batang korek api. Daun-daun yang biasanya terasa kecil di genggaman
tangannya, sekarang tampak teramat besar untuknya. Bahkan, ia bisa menggunakan
daun sebagai selimut, dan kelopak bunga sebagai tempat tidur.
Hidup Kathleen benar-benar
berubah sejak Penyihir Labu yang berbadan bulat besar mengutuknya menjadi
liliput. Wajah penyihir itu dipenuhi keriput, hidungnya panjang dan ditumbuhi
bentol-bentol mengerikan, kakinya pendek, dan topi penyihirnya sangat kotor. Ia
benar-benar penyihir terburuk yang pernah ditemui Kathleen.
Saat Kathleen baru selesai membersihkan
bajunya, ia melihat dedaunan rimbun di hadapannya terbelah dan bergemerisik,
seolah sesuatu sedang bergerak di antaranya. Ia sudah menemui banyak makhluk aneh
sejak pertama kali menginjakkan kaki di Hutan Berkabut ini. Tak hanya sekali
pula gadis ini tersesat di antara kabut karena tanaman penyesat yang tumbuh
memenuhi setiap sisi hutan. Berulang kali ia bertemu dengan singa berambut
panjang—hingga terseret-seret saat ia berjalan, ular berdasi—yang membuatnya kesulitan
melata, jangkrik raksasa—yang mengejar-ngejar Kathleen di hari kedua ia
menjelajahi Hutan Berkabut, dan masih banyak hal lainnya.
Gerakan di antara dedaunan
semakin mendekat. Kathleen memandang sekitar, mencari-cari sesuatu yang bisa
digunakannya sebagai senjata. Tak butuh waktu lama, ia sudah menemukan sebuah
ranting kurus—yang sebenarnya lebih cocok disamakan dengan serpihan ranting.
Bahaya semakin mendekat. Dari gerakan
dedaunan yang tersibak, tampaknya itu sesuatu yang besar, yang berarti tidak
bisa dilawan Kathleen dengan serpihan rantingnya yang rapuh itu.
Kathleen gemetar. Ketakutan mulai
menghampirinya. Ranting yang tadinya terhunus, kini berada dalam pelukan
Kathleen yang gemetar. Berulang kali ia memandang kiri-kanan, lalu ia berusaha
bersembunyi di balik dedaunan.
Semakin dekat. Terdengar bunyi
berdebum loncatan. Pasti hewan, pikir
Kathleen. Suara yang terdengar bukan derap langkah, melainkan berdebum dengan
ritmen rapi—yang membuat gadis itu menerka-nerka apa yang ada di balik rimbun
dedaunan itu.
Semakin dekat dan sebuah sosok
muncul dari balik dedaunan, hingga membuat Kathleen terkejut dan berteriak. “Jangan makan aku. Kumohon,
jangan makan aku,” ucap Kathleen memohon seraya mengibas-ngibaskan tangannya,
berharap sosok itu akan menyingkir dari hadapannya. Matanya masih terpejam
sehingga ia tak tahu pasti apa yang ada di hadapannya sekarang. “Aku belum mau
mati, kumohon.”
“Heh! Makhluk kecil! Siapa juga
yang mau memakanmu?” tanya sosok yang ada di hadapan Kathleen.
Alis Kathleen bertaut saat
mendengar pertanyaan itu. Ia pun memberanikan diri membuka matanya, dan betapa
terkejutnya ia melihat sosok yang ada di hadapannya saat ini. Sesosok kodok
yang memiliki jambang, kumis, dan jenggot.
“Kodok brewok?” Kathleen
terperangah. Wajahnya menyiratkan rasa tak percaya. “Kodok brewok yang bisa
berbicara?” Sekali lagi ia mengulangi pertanyaan itu, seolah meyakinkan dirinya
sendiri.
“Kau tak perlu mengulang
pertanyaan itu.” Si Kodok tersinggung dengan pertanyaan Kathleen.
Tawa Kathleen pecah setelah ia
berhasil menarik sehelai rambut yang berasal dari brewok Si Kodok tersebut. “Hahahaha…
ternyata kau hanya kodok brewokan yang jelek.”
“Apa kau bilang?!” Protes Si
Kodok tidak terima.
“Oh ya, dan sedikit angkuh!
Ahahaha…” Kathleen melanjutkan tawanya, seolah ia tak peduli dengan Si Kodok
yang tersinggung dengan setiap ucapannya.
Si Kodok mendengus kesal. “Kau
benar-benar menyebalkan! Aku bisa memakanmu sekarang juga!”
Kathleen menjentikkan jarinya di
hadapan Si Kodok. “Kau sungguh kodok yang mudah tersinggung. Kupikir kau perlu
mengubah sifatmu itu. Percayalah, kau tidak akan memiliki teman jika sikapmu
seperti itu,” ucapnya berlagak menasehati kodok itu—yang membuat Si Kodok
semakin kesal.
“Kau liliput yang tidak tahu
sopan santun! Aku akan memakanmu!”
“Tunggu!!” Kathleen meletakkan
tangannya di wajah kodok yang hendak menyerangnya itu. “Aku gadis yang periang
dan baik. Itulah aku. Bukan kodok jelek, angkuh dan mudah tersinggung
sepertimu.” Ia melipat tangannya seraya menggeleng-gelengkan kepala penuh isyarat merendahkan.
“Dasar kau liliput menyebalkan!”
Si Kodok loncat ke arah Kathleen.
Kali ini dia benar-benar serius dengan ucapannya. Hatinya kepalang panas
mendengar celoteh Kathleen. Liliput ini
harus mati!
Kathleen yang terkesiap mendapat
serangan tiba-tiba, tak punya pilihan lain selain berlari
menghindari serangan Si Kodok. Berulang kali tubuhnya yang mungil hampir terinjak.
Ia berlari tak tentu arah dan terus berteriak meminta tolong.
“Tunggu! Tolong! Aku.. minta..
maaf.. atas.. semua.. perkataanku..” ucap Kathleen dengan terputus-putus seraya
terus berlari. “Penyihir Labu! Kau juga dikutuk olehnya?”
“DIAM KAUU!!” Si Kodok meloncat
lebih tinggi dan kali ini perhitungannya lebih akurat. Ia sudah memastikan
Kathleen akan mati di bawah kakinya.
Napas Kathleen tersengal. Ia kelelahan.
“Tunggu! Kau membutuhkanku untuk mencari Penyihir Labu! Aku tahu, kau pasti
ingin kembali ke wujud aslimu!”
Pasrah, Putri Liliput itu
memutuskan berhenti berlari. Jika pun kodok angkuh itu tak mau mendengarkannya,
mungkin sudah saatnya dia mati. Namun, Si Kodok tampak berminat dengan tawaran
yang diberikan Kathleen.
Si Kodok berhenti. Ia menahan serangannya demi mendengar perkataan Kathleen. “Kenapa aku membutuhkanmu? Bahkan
tubuhmu saja sangat kecil. Untuk menyelamatkan hidup dariku saja kau sudah
kewalahan.” Si Kodok masih berkata angkuh. Ia merasa liliput kecil itu tak akan
berguna untuk hidupnya.
Kathleen bersorak dalam hati
untuk keberuntungannya. “Ya, karena hanya aku yang tahu jalan menuju Penyihir
Labu. Aku tahu, tubuhku terlalu kecil, makanya aku membutuhkanmu. Aku tahu, kau
bisa menjamin keselamatanku. Setidaknya sampai kita bertemu makhluk yang lebih
besar darimu.” Lagi-lagi gadis ini mengucapkan kata-kata yang membuat Si Kodok
tersinggung.
Si Kodok mengerang geram.
“Kau pikir aku ini bodoh? Mau
menukar informasi sepenting ini tanpa mendapat imbalan apa-apa?” tanya
Kathleen, lalu ia berjalan dan duduk di sebuah batu. Ia berusaha mengatur
napasnya yang masih terasa sesak.
Keadaan di dalam hutan selalu
gelap. Beruntung jika siang, ada cahaya matahari yang menyelip dari celah-celah
ranting pepohonan dan dedaunan yang rimbun. Saat hutan semakin gelap, maka
tahulah para penghuninya bahwa malam sudah dekat, yang berarti kabut akan
semakin tebal dan seluruh tanaman berkabut akan hidup.
Si Kodok tampak berpikir. “Imbalan,
ya? Hm… Kau cukup pintar untuk ukuran liliput.”
Kathleen memperhatikan cara
bicara Si Kodok. Jika benar dugaannya, maka wujud asli kodok ini pastilah tak
jauh beda dengannya. Dan pastinya dia—si kodok—di wujud aslinya merupakan sosok yang pintar. Jelas jika dilihat hitung-hitungannya berbicara saat
Kathleen menyebutkan kata ‘imbalan’.
“Sudah kukatakan, heh, aku ini
dikutuk. Wujud asliku seorang gadis yang periang dan baik. Ingat itu!!” Protes
Kathleen tak terima.
Si Kodok mengangguk. Ia sudah
mendapat keputusan. “Terserah kau saja. Baiklah, kita akan bekerjasama dalam
hal ini. Aku menerima tawaranmu.”
“Baiklah. Kau harus membuang
sikap angkuhmu itu. Aku tak terlalu suka dengan orang angkuh. Dan… jangan mudah
tersinggung! Nanti kau bisa mati mendadak!”
“Benarkah?” Si Kodok memasang wajah ngeri. Mungkin ia sedang membayangkan dirinya mati tiba-tiba sebelum bisa membalaskan dendam kepada Penyihir Labu.
Kathleen tertawa. “Hahaha…
Kupikir kau pintar, ternyata kau mudah sekali ditipu. Hahaha..” Ia terjatuh ke
tanah karena tak bisa menahan tawa.
Si Kodok kembali tersinggung dan
kesal melihat Kathleen yang seperti itu. “Kalau kau mau bekerjasama denganku,
kau harus mengikut peraturanku! Jangan mengusik hidupku dan bertanya hal-hal
tidak penting. Dan berhenti menertawakanku! Atau aku akan memakanmu!”
“Astagaaa! Kau benar-benar kodok
yang egois! Hahahaha..” Kathleen terus tertawa tanpa peduli dengan ucapan Si
Kodok.
Hari semakin gelap. Kabut kian menghalangi pandangan Kathleen
dan Si Kodok.
“Ayo, kita harus pergi. Kecuali
jika kau mau terjebak dalam kabut,” kata Kathleen dan ia naik ke tubuh Si
Kodok.
Sebisa mungkin Kathleen dan Si
Kodok menjauhi kabut—yang semakin lama semakin mengepung mereka. Kodok terus
meloncat-loncat, sedang Kathleen berulang kali mengumpat karena gerakan Si
Kodok yang membuatnya nyaris terjatuh.
“Darimana kau tahu kalau Penyihir
Labu yang mengutukku? Dan siapa yang mengizinkanmu naik ke tubuhku?” Si Kodok
bertanya heran. Ia baru ingat kalau dirinya tak pernah menyebutkan tentang
kutukan dan Penyihir Labu, juga tak pernah menyetujui tentang memberi tumpangan gratis.
“Kita harus menghemat waktu. Ingat,
aku tak memberimu informasi tanpa mendapat imbalan. Jadi ya, lumayan dapat
tumpangan gratis. Hahaha..” Kathleen masih bisa tertawa dalam situasi mendesak
seperti itu, yang membuat kodok berulang kali mengumpat dalam hati.
Mereka terus bergerak, sayangnya
kabut semakin tebal. Saat Si Kodok melompat, sesuatu melilit kakinya dan
menariknya ke bawah.
BRAAKK!!
Bunyi berdebum memecah hutan yang
kian sunyi. Si Kodok dan Kathleen terjatuh. Berulang kali Kathleen mengaduh
kesakitan, sedang Si Kodok tak henti-hentinya memerintahkan liliput itu untuk
bangkit dan kembali naik ke tubuhnya.
Dengan nyeri yang masih terasa
jelas di persendian kakinya, Kathleen akhirnya berhasil naik ke tubuh Si Kodok.
“Tanaman penjerat. Cepatlah!”
Satu loncatan. Berbagai tanaman
penjerat berebut meraih kaki Si Kodok. Sebisa mungkin ia menghindari
tanaman-tanaman itu. Kabut semakin tebal.
Dua loncatan. Akar tanaman penjerat
menyerang Si Kodok dari berbagai arah. Ia mengelak ke sana-sini, berharap kaki
atau tangannya tak akan terjerat untuk kedua kalinya. Malam itu, kabut beracun
datang, seiring tanaman pembunuh yang menyebar. Penglihatan Kathleen mulai
mengabur.
Dan…
BRUUKK!!
Si Kodok dan Kathleen terjatuh.
Kali ini mereka terperosok ke sebuah lubang yang sepertinya sudah lama dibangun dengan tujuan tertentu.
Mereka merangsek ke dalam lubang itu—yang terhubung dengan sebuah lorong
rahasia.
Kathleen sudah tak sadarkan diri.
Si Kodok pun mulai kehilangan
penglihatannya. Semakin buram. Kepalanya terasa sakit. Dan kesadarannya hilang.
bersambung...
Nb : Cerita ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dari Kak Cunul, biar dikasih ikut ke Sibuaten. Kodok brewok = dirinya sendiri.
0 Comments