Derit engsel lemari yang semakin berkarat melengking di kegelapan malam, merambah dinding-dinding kayu yang dingin. Dia kembali menutup pintu lemari seperti malam-malam sebelumnya, lalu mundur perlahan dan duduk di tepi kasurnya. Senyap, hingga bahu Si Wanita Penari tampak berguncang sedikit. Ia menahan sesuatu yang bergelut di hatinya, entah luka masa lalunya atau kerinduan akan masa emasnya dulu.
Kudengar
isak tangis dari bibir Si Wanita Penari. Aliran sungai di pipinya tak pernah
reda, pun tak kenal surut meski kemarau rasa sakit menggeliat di batinnya. Dari
celah pintu, aku selalu menyaksikannya menangis. Kadang terdengar dengusan
amarahnya di tengah air mata yang terjatuh. Sering pula kudapati ia memaksakan
senyumnya mengembang demi menunjukkan pada semua orang bahwa dirinya baik-baik
saja.
“Ah,
mengapa aku menangis lagi,” gumam Si Wanita Penari pelan seraya menyeka air
matanya. Ia mengulas sebuah senyum dan bangkit dari duduknya.
Wanita
itu mengambil perlengkapan make up
dan memoles wajahnya. Ia memakai baju yang sejak tadi sudah dikeluarkannya.
Lagi, ia memoles senyum.
Setiap
malam, aku mendengar isak tangis wanita itu dengan jelas. Segala hal di masa
lalu yang membuatnya terluka, masih terasa amat segar. Rasanya ingin aku
memeluk dia hingga tangisnya tenang. Namun, hidup hanya sebatas lakon di atas
pentas, dan wanita itu memainkannya dengan indah. Di hadapanku, dia selalu
baik-baik saja. Lalu, bagaimana mungkin aku mengajaknya berbincang tentang luka
masa lalunya?
****
“Salamat halemei[1],
Dan!” ucap Si Anak Perempuan yang duduk di tepi sungai. Ia mengulum sebuah
senyum tulus untuk temannya.
“Salamat halemei!”
Air Sungai
Kahayan tertimpa senja yang menguning di sisi Barat. Sisi sungai mengerling,
berkilau dengan indah. Siang yang terik tergantikan senja yang perlahan
menghangat dan menyilaukan. Anak perempuan itu duduk bertopang dagu—memandangi
teman-temannya yang sedang bermain air di tepi sungai. Matanya berbinar, bukan
karena ia sedang bahagia, namun senja telah terbenam di tatapannya. `
Aku
selalu memandangi anak perempuan itu dari kejauhan. Tak seperti anak perempuan
lainnya, dia jauh lebih kuat dan gagah layaknya anak lelaki. Entah karena
perangainya, atau karena kesepian yang memaksanya untuk menjadi orang lain.
“Lena,
kau tak ikut?” tanya salah seorang teman Si Anak Perempuan yang sudah
bersiap-siap di tepi sungai untuk melompat.
Mereka
melepaskan baju dan meletakkannya di sembarang tempat. Mereka tak perlu
mengkhawatirkan apa pun, karena mereka sangat senang dan menikmati apa yang
dapat mereka lakukan.
Dalam
hitungan singkat, seorang anak lelaki sudah melompat ke dalam Sungai Kahayan.
Air sungai berkecipak dan terbelah. Bunyi berdebum saat tubuhnya menyentuh air
melahirkan kesenangan tersendiri bagi mereka. Dan Si Anak Perempuan tadi, hanya
tersenyum memandangi teman-temannya.
Di
tepi Sungai Kahayan, semua anak bermain bersama. Mereka terbiasa membantu dan
saling menghibur satu sama lain. Kehidupan mereka jauh dari bayang-bayang
individualisme yang kerap lahir di Ibukota.
Si
Anak Perempuan tertawa. Telapak tangannya diturunkan dan dihadapkan dengan
papan-papan yang menjadi tumpuannya duduk. “Aku menyusul, Dan.”
Satu
per satu anak kembali menceburkan dirinya ke dalam aliran cokelat Sungai
Kahayan. Semuanya tertawa dengan lepas. Segala hal tampak begitu mengalir, dan
tak perlu ada hal yang mereka risaukan. Sedang dalam jiwa Si Anak Perempuan, ia
merisaukan berbagai hal yang tak pernah ia ketahui. Memang hanya satu hal yang
selalu melekat di pikirannya. Ya, hanya mengenai bapak yang tak pernah ia tahu
wujud ataupun keberadaannya.
Si
Anak Perempuan hanya menanti langit, langit yang menguning di sisi barat sungai
Kahayan, yang selalu ia rindukan jika sehari saja ia melewatkan lanskap jingga
kemerahan itu. Apalagi saat kabut sedang tebal-tebalnya, matahari akan memerah
dan tenggelam bagaikan berlian merah yang dijatuhkan di atas cincin emas.
Setiap sore, ia selalu bertanya kepada senja. “Di mana Bapakku?”
Ketika
langit sudah gelap, Si Anak Perempuan dan teman-temannya pulang ke rumah dengan
wajah tertunduk, dia hanya menunggu beberapa jam kemudian untuk mendengar suara
gaduh dari rumah sebelah.
Suara
gaduh yang amat menyenangkan—yang membuat Si Anak Perempuan selalu ingin berada
di tengah-tengah suara gaduh itu. Suara tawa seorang bapak yang sedang bersenda
gurau bersama anak dan istrinya. Suara kebahagiaan yang lahir dari seorang
anak—yang dipenuhi ketulusan.
Beberapa
kali bapak temannya itu mengajak Si Anak Perempuan untuk bermain bersama, dan
harus diakuinya, hal itu amat menyenangkan dan dia ingin mengulanginya setiap
hari.
“Aku
ingin punya Bapak,” katanya seraya membanting tubuh di atas kasur.
Lanskap
senja—lengkap bersama aliran cokelat, semu kekuningan, kerlingan air sungai,
dan sepotong Jembatan Kahayan yang amat dikaguminya—masih terekam jelas dibenak
Si Anak Perempuan. Ia memejamkan mata. Ya, dia hanya perlu memejamkan mata
untuk dapat melihat kembali sisa senja yang masih dirindukannya.
“Lena,
ikau kuman[2]?”
Si
Anak Perempuan membuka matanya dan ber-puh
kecewa. Dalam hati, ia sudah menghitung sejak tadi. Menghitung mundur kapan
kalimat itu akan didengarnya. Karena setelah kalimat itu menyapa telinganya
dengan lembut, ia benar-benar akan merasa sendirian dan ditinggalkan. Itulah
sebab ia menyukai senja. Ya, karena hanya senja yang memberikannya tawa dan
sepotong kehidupan yang terasa hangat di tepi sungai, bersama teman-temannya.
Dengan
langkah malas, Si Anak Perempuan mendatangi seseorang yang sejak tadi
mengulangi pertanyaan yang sama—dan ia tak menjawabnya sekali pun. Sejak ia
lahir, ia terbiasa dengan goncangan air sungai. Terkadang, papan yang
dipijaknya berkeriut, atau riak air sungai masuk ke kamarnya. Pun ia tak pernah
mengeluh. Selama ada matahari senja, hidupnya akan baik-baik saja.
Setiap
sore, aku ingin sekali memeluk Si Anak Perempuan. Ia selalu menatapku—dengan
tatapan yang menggetarkan hati. Membuat kepergianku selalu tak tenang. Pun
gelisah selalu membuntutiku saat aku pergi ke tempat lain, meninggalkan Si Anak
Perempuan bersama sisa senjanya yang terakhir.
****
Satu-dua
orang berlalu-lalang, hanya sekadar numpang lewat. Para penjual dan pedagang
saling melemparkan senyuman saat bertemu, meski tak sepeser rupiah pun yang
masuk ke dalam kantong Si Wanita Penari. Di kota ini, sebuah senyum sudah cukup
untuk membayar kelelahan.
Aku tak mengerti mengapa Si Wanita Penari mau melakukan hal itu. Berjualan di sudut Pasar Kahayan—yang kini sepi pengunjung. Dengan sabar ia menyiapkan gorengannya setiap pagi, dan pulang ketika matahari sudah merunduk.
Pasar Kahayan dipenuhi para perantau. Segalanya berbaur dalam pasar ini, saling menerima, menegur, melempar senyuman dan bercakap-cakap.
Dulu,
Si Wanita Penari menjadi seorang bintang. Wajahnya selalu nongol dalam
pementasan besar di dalam dan luar negeri. Namanya bagaikan bunga matahari yang
sedang mekar dengan cerah. Ribuan pundi-pundi rupiah mengalir ke kantongnya.
Wajahnya selalu terlihat cantik dengan make
up yang memolesnya. Pun hidupnya jauh lebih baik dari sekarang.
Setiap
hari, Si Wanita Penari selalu meninggalkanku. Pergi sendiri dan berjuang
sendiri, meski aku tahu keluh kesahnya dalam hati. Bagaimana mungkin aku tak
mengerti apa yang ada di hatinya? Dulu, lama berselang, kami sudah
bersama-sama. Sejak ia masih di sanggar tari dan menghapal tarian Balean Dadas[3],
aku sudah mengenalnya di situ. Dia selalu memuji-mujiku dahulu. Dan harus
kuakui, dia teman yang sangat setia.
Berbagai
musim dan bermacam budaya sudah kulewati bersama Si Wanita Penari. Gerak
tubuhnya mampu menyesuaikan irama musik dan segala jenis tarian. Terkadang ia
begitu gemulai, terkadang amat gagah, dan kadang pula ia terlihat gesit.
“Aku
akan mencintai budaya ini selamanya,” tuturnya dulu ketika pertama kali ia
masuk sanggar tari.
Setiap
minggu, Si Wanita Penari dan aku selalu menari untuk menyambut para tamu yang
datang ke Palangkaraya. Dulu, dia seringkali memelukku. Terkadang aku jadi
sangat merindukannya jika ia harus libur dari sanggar. Tapi sayang, semua itu
hanya ada di masa-yang-sudah-lama-berselang.
“Na[4]’,
pire harganya?[5]”
tanya seorang pembeli pada Si Wanita Penari siang itu. “Seribu, Ding[6],”
jawab Si Wanita Penari dengan ramah.
“Na’
mirip siapa, ya? Ah, saya seperti pernah melihat Na’.” Si Pembeli mengerutkan
dahinya dan berusaha mengingat siapa yang dilihatnya.
Si
Wanita Penari tersenyum, lagi. “Ah, tak ada, Ding. Mungkin Ding salah lihat,”
elaknya sebisa mungkin.
Mungkin
bagi Si Wanita Penari, masa lalunya begitu menyakitkan. Meski tiap malam selalu
ada hal yang menentang dalam nuraninya, namun semua itu seolah menjadi senjata
yang mampu menjungkirbalikkan hidupnya dengan sekejap.
“Ah, hidup memang selalu berubah-ubah,” katanya dulu.
****
Setiap
malam, aku selalu mencemaskan Si Anak Perempuan. Masalahnya aku selalu pulang
ketika pagi. Dan hanya saat sore hari aku bisa menemuinya dengan leluasa. Memeluknya
dari kejauhan, namun cukuplah untuk menghilangkan kekhawatiranku selama
berjauhan darinya.
Si
Anak Perempuan selalu bercerita tentang keinginannya menikah suatu saat nanti.
Umurnya baru delapan tahun, namun ia selalu suka saat melihat perempuan dewasa
memakai gaun pernikahannya. Dan ia sering membicarakan hal itu dengan
teman-temannya yang lain.
“Perempuan
jadi begitu cantik saat ia akan menjadi wanita,” kata Si Anak Perempuan saat
melihat iring-iringan pernikahan yang kebetulan lewat dekat Jembatan Kahayan.
“Ah,
kau saja tidak cantik,” sambar Dani, teman Si Anak Perempuan.
Malam
berikutnya di dalam kamar, Si Anak Perempuan mendengar keributan di luar.
Lanting[7]nya
jadi bergoyang-goyang. Kecipak air semakin tinggi dan masuk ke kamarnya melalui
celah-celah kayu. Ia langsung turun dari kasurnya dan melihat keluar.
Di
luar, ibunya sudah menunggu dengan senyum yang mengembang dan seplastik ikan
sungai goreng yang masih segar.
“Mak,
bawa apa?” tanya Si Anak Perempuan dengan sumringah. Segala hal tentang
bapaknya telah dilupakannya untuk sesaat.
****
Setiap
malam, Si Wanita Penari keluar meninggalkanku. Ia menari di tempat-tempat
kecil. Jika sedang beruntung, terkadang ia menari di Taman Budaya Palangkaraya.
Di
sini, aku berdiam diri dalam kegelapan dan kesumpekan akan masa lalu. Jujur
saja, aku merindukan masa-masa bersama Si Wanita Penari. Aku merindukan
gemerlap dan kemegahan panggung berkelas Nasional dan Internasional. Aku
merindukan segala hal yang ada di kehidupan kami dulu. Tapi sekarang, aku
berhenti di sini. Hanya mampu mencium bau apek dan debu-debu yang perlahan
mengotoriku.
Aku
dan Si Wanita Penari seperti Tambun dan Bungai[8].
Kami pejuang yang berusaha menjaga budaya kami. Aku dan Si Wanita Penari
memiliki perasaan yang sama. Jika dia bersedih, aku pun merasakan hal yang
sama. Tapi harus kuakui, apa yang dikatakannya dulu benar. Hidup terus berubah.
Kini aku bahkan tak tahu harus berkata apa. Waktu-waktu berharga yang dulu melimpah,
kini tergerus perubahan zaman yang datang tanpa permisi. Generasi-generasi yang
seharusnya menjadi pengganti aku dan Si Wanita Penari, kini lebih memihak pada
perubahan zaman. Perlahan-lahan yang baru datang, semakin lama semakin banyak,
dan kami semakin ditinggalkan.
****
Si
Anak Perempuan seringkali merindukan sosok ibu di kehidupannya. Di nadinya
berdenyut keresahan—rasa ingin bertemu bapak yang tak pernah kesampaian dan
rasa khawatir tiap kali ibunya pergi bekerja. Di pikirannya tumbuh kerinduan
yang diselubungi kebencian—rindu akan ibu yang jarang sekali ada untuknya.
Perlahan, rindu itu menjadi partikel-partikel yang tak dimengerti Si Anak
Perempuan.
Aku
memeluk Si Anak Perempuan sore ini. Ia menumpahkan segala sedih dan air matanya
padaku. Senja ini, aku milik dia seutuhnya. Kubiarkan ia mengadu dan memelukku
erat. Tak kuhapus air matanya atau kutahan sesenggukannya. Biarlah. Biar segala
yang membebani hatinya, sore ini tumpah ruah semuanya.
Teman-teman
Si Anak Perempuan berusaha menghibur. Mereka menepuk-nepuk pundak Si Anak
Perempuan.
“Sudah,
kau kenapa menangis?” tanya teman Si Anak Perempuan.
Meski
segala tehnologi sudah merambah perubahan zaman dengan cepat, namun di tepi
Sungai Kahayan, perubahan zaman itu seolah tak melunturkan kekompakan dan
kepedulian anak-anak ini. Mereka tak pernah sibuk sendiri karena terbuai akan
kemajuan tehnologi.
Aku
hanya bisa menghangatkan Si Anak Perempuan. Aku bukan siapa-siapa di hidupnya.
Tapi aku tak bisa berhenti memaki diriku sendiri tiap kali senja semakin
memerah, karena hal itu berarti aku harus meninggalkannya secepat mungkin.
Dan seperti yang kutakutkan, senja semakin memerah dan akhirnya tenggelam. Si Anak Perempuan masih menangis di teras lantingnya, bersama teman-teman yang masih berusaha menghiburnya.
****
Malam
itu semua penari sedang mempersiapkan pementasan. Tari giring-giring jadi
pilihan sanggar kami—Aku dan Si Wanita Penari. Kami diminta untuk membawakan
tarian di sebuah acara peresmian.
Si Anak Perempuan membantu Si Wanita Penari yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Si Wanita Penari mengasuh Si Anak Perempuan. Sejak saat itu, mereka berdua saling memiliki satu sama lain, meski Si Wanita Penari harus sering keluar rumah demi mencukupi kebutuhan. Keramahan para tetangga dan kepedulian yang tinggi, membuat mereka berdua hidup dengan tenang di tepi Sungai Kahayan, meski beberapa hal terasa amat menyusahkan kehidupan mereka.
“Mak cantik sekali. Aku boleh ikut ya, Mak? Sudah lama kita tidak pergi bersama.” Pinta Si Anak Perempuan seraya menarik-narik tangan Si Wanita Penari.
Si Wanita Penari tersenyum. Ia mengangguk, mengamini permintaan Si Anak Perempuan. “Iya, kita pergi bersama. Nanti kamu yang bantu membenarkan penampilan Mamak, ya.”
Si Anak Perempuan mengangguk dengan riang.
Terkadang manusia membutuhkan kesepian untuk bisa menyadarkan dirinya masih ada orang-orang yang peduli.
Aku senang, aku bisa memeluk Si Wanita Penari dan melihatnya tersenyum seperti dulu. Perlahan-lahan, namanya semakin sering disebut dalam pementasan seni. Dan aku akhirnya bisa keluar dari ruangan apek nan sumpek ini.
Seorang pembeli gorengan yang dijumpai Si Wanita Penari di sudut Pasar Kahayan mengingat siapa sebenarnya Si Wanita Penari.
Si Wanita Penari kembali bertemu dengan Si Pembeli.
Si Pembeli berkata seraya menjabat tangan Si Wanita Penari, “senang bisa bertemu penari hebat seperti Na’. Dan senang sekali Na’ punya penerus yang sangat cantik,” ia melirik Si Anak Perempuan yang bergelayut di sisi kanan Si Wanita Penari.
Nb :
Penceritaan Si Wanita Penari oleh baju tarian yang
disimpan di lemari.
Penceritaan Si Anak Perempuan oleh matahari senja di
tepi sungai Kahayan.
Cerpen ini yang-pada-tanggal-16 September 2014 lalu aku tulis untuk tangkai lomba penulisan cerita pendek di Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS XII) dan saya pos-kan dengan harapan akan banyak masukan dan komentar untuk tulisan saya ini. Terima kasih dan selamat membaca :)
Cerpen ini yang-pada-tanggal-16 September 2014 lalu aku tulis untuk tangkai lomba penulisan cerita pendek di Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS XII) dan saya pos-kan dengan harapan akan banyak masukan dan komentar untuk tulisan saya ini. Terima kasih dan selamat membaca :)
[1]
Selamat sore
[2]
Kamu makan?
[3]
Tarian tradisional Kalimantan Tengah untuk meminta kesembuhan kepada Tuhan bagi
masyarakat yang sakit.
[4] Singkatan
dari Mina, untuk bibi atau tante
[5]
Berapa harganya?
[6] Singkatan
dari Ading, untuk yang lebih muda
[7]
Rumah kayu yang dibangun di atas air Sungai Kahayan
[8] Tokoh
legenda suku dayak ot Danum yang tinggal di tengah pulau Kalimantan khususnya
wilayah Kabupaten gunung Mas.
0 Comments