"Dia milik Tuhanku yang sengaja dipinjamkan untukku. "
Dia. Nama itu menggema di telingaku, bergeming hingga aku
melengking kebingungan. Bukan, bukan bingung bagaimana harus memakinya agar
nama Dia berhenti menggema di
telingaku. Namun, aku bingung, harus bahagia atau harus sedih? Dia seperti sengaja mengutukku dengan
sihir itu.
Dia. Tawanya seperti surya membakar ilalang yang tegak dengan
keangkuhan. Dia membakarku, membakar sombongku yang melilit kepala dan otak
bodohku. Dia membumi hanguskan pemikiran absurdku tentang kesepian. Dia seperti
surya, jika memang angkuh, maka ia telah menundukkanku.
Dia. Senyumnya tak sedikitpun menarik. Tak membuatku berdecak kagum
sekalipun. Tak mampu menarik lengkungan sabit di wajahku. Tak sanggup menghipnotisku mengikuti alur
senyumnya. Sayang, dia tidak mahir dalam senyuman.
Aku mengenalnya di suatu rimba
yang asing. Menatapnya dengan siluet silet di ujung nadi. Dia aneh. Dia berbeda
denganku. Atau mungkin aku yang aneh? Entahlah. Tapi, mendadak dia memenuhi
otakku. Memenuhi pikiran yang dulunya selalu dipenuhi opini-opini absurd dengan
abstraksi tinggi. Hatiku merasa hal yang aneh. Ya, hal aneh yang diperkenalkan Dia dengan keanehannya pula.
“Tuhan!! Mendadak orang aneh ini menjadi begitu istimewa. Sial!!”
batinku menyumpahinya yang tengah menyunggingkan senyum untukku.
Dia tetap saja memamerkan senyum yang sukses membuatku nyengir
kuda. Dia tetap saja dengan yakin
tersenyum meski hatiku sudah memaki dan menyumpahinya sejak tadi.
“Kau aneh! Lihat saja senyummu
itu,” ucap Dia mengomentari senyumku.
“Apa? Aneh? Dia yang aneh dan sekarang dia yang menjudgeku aneh?”
lengkingku dalam hati. Sekali lagi aku menyumpahi Dia.
Dia masih saja membiarkan senyumnya menyeringai di hadapanku. Aku
semakin menjadi-jadi, menyumpahinya dan berdoa agar Tuhan menjamah semua itu.
****
Semua terasa aneh. Bukan Dia yang aneh, tapi aku. Aku merasakan
ada yang berbeda. Ada hal yang perlahan membuatku tersenyum tiap mengingat
keanehannya. Ada hal yang membuatku tertawa kecil tiap kali mendengar
celotehnya. Tepatnya ada yang salah di hatiku. Dia sukses menyita pikiranku dengan keanehannya. Dia yang sama sekali tidak menarik untukku,
kini ada dalam setiap inci hidupku. Gelak tawanya, suaranya, namanya, senyum
yang sama sekali tak menawan, dan segalanya. Kini aku sadar, bukan butuh hal
istimewa untuk dapat menyita pikiran seseorang. Buktinya, keanehannya lebih
sukses menyita pikiranku daripada kesempurnaan dari Dia-Yang-Lain.
Dia benar-benar kebalikanku. Dia
memperkenalkan segala hal padaku dengan cara yang berbeda; cara yang berbeda
untuk menikmati berbagai hal. Dan cara itu begitu indah, lebih indah dari cara
yang kugunakan salama ini.
“Seperti ini caranya,” ucap Dia dengan nada altonya.
Saat itu petang sudah membayang
di ujung barat. Ombak laut masih berkejaran, masih saja betah melakukan aktivitas
itu. Buih-buih laut masih bergerombolan menyapa tepi pantai, hingga menyapa
kakiku. Nyiur masih melambai pelan. Gundukan istana pasir sisa imajinasi
anak-anak sepanjang siang mulai rata tersapu air.
Saat itu langit mulai menggelap.
Namun, masih ada samar keemasan yang terpantul di ujung laut, tepat di ujung
pandangan mata. Ketika itu pula air laut berkilau, bersama siluet Dia yang datang menarikku menjauhi bibir
pantai.
“Cara apa?” tanyaku heran, masih
dengan tatapan silet. Kali ini, silet itu kuletakkan di lehernya.
Senyum Dia masih saja menyeringai. Entah harus bagaimana lagi agar
membuatnya sedikit takut denganku.
“Berbaliklah!!” suara Dia terdengar memerintahku. “Berbalik
dan lihat bayanganmu itu. Seperti ini seharusnya cara menikmati senja. Bukan malah
menatapnya dan berandai-andai terlalu tinggi. Akan sangat sakit ketika malam
menyapa dan kau dibanting keras oleh andai-andaimu itu,” tandas Dia.
Saat itu aku mengikutinya. Berbalik
membelakangi senja. Membelakangi sudut barat yang melenyapkan petang
terindahku. Dan benar saja, semua terasa berbeda. Aku dapat menatap bayanganku
yang terbias senja. Aku menatap bayangan itu semakin tinggi ketika senja
semakin rendah. Semua terasa lebih indah seketika. Cara aneh itu membuatku
terkesima, kini.
“Kau lihat!! Butuh waktu untuk
bisa mewujudkan semua mimpi. Harus ada yang mengalah. Seperti senja yang
merendah untuk meninggikanmu, begitu pula kau harus merendah di awalnya untuk
meninggikan senja.” Sekali lagi Dia
menggemakan suaranya di telingaku.
Dia berhasil memperkenalkanku dengan petang yang membayang. Itu caranya,
dan aku menyukainya, perlahan.
“Sial, dia berhasil mencuci
otakku!!”
****
Rintik-rintik air sudah
membanjiri bumi. Aku masih memainkan kakiku dari cipratan hujan. Sekali lagi Dia datang mengusik kebiasaanku. Tetap sama,
aneh. Julukan itu tak pernah terlepas darinya.
“Begini,” ucap Dia menuntunku.
Dia menengadahkan tangannya, merentangkan keduanya. Wajahnya menatap
langit, matanya terpejam. Halte bis yang saat itu tengah sunyi, membuatku tidak
terlalu malu dengan tingkah anehnya itu. Dan sialnya, aku mulai mengikutinya
lagi.
Tubuhku terkena tempias air
hujan. Rasanya sejuk, bahkan lebih nikmat. Dingin, namun tidak membuatku
kedinginan. Lembab, tetapi aku tak perlu takut basah. Aku terhipnotis.
****
Kini, malam sudah terlalu sunyi.
Aku masih sesenggukan. Tak ada lagi yang mendengar tangisku ini. Malam kian
merambat di penghujung waktuku. Silet yang biasanya kugunakan untuk
membunuhnya, kini kutatapkan pada nadiku. Dekat, sangat dekat untuk nyawaku.
Dia datang mengoyak malam, memecahkan atmosfer kesepian yang
memasungku. Dia mendengar tangisku,
mendengar sesenggukanku. Dia mendekat, mengendap hingga akhirnya tiba di
hadapanku. Dia merengkuhku, memelukku
dari tangisku.
“Apa ini? Kau siapa berani berbuat ini padaku?!!” protesku dalam
hati.
Tapi, rasanya begitu nyaman. Aku
aman di dekat Dia. Dia menyingkirkan silet di ujung nadiku.
Dia menyeka air mataku. Dia menyandarkanku pada bahu kekarnya. Aku
masih terdiam.
Dia. Dia selalu bisa
membuatku mengikutinya, menjejaki setiap tuntunannya. Dia dapat membuatku menjadi pemandu, bahkan dalam jalan yang
teramat berkelok. Dan Dia dengan
lihainya berdampingan denganku; mensejajarkan antara seorang pemandu dan
pengikut.
“Jangan menangis jika kau
membenci hal itu. Kau bisa menyodorkan segudang silet padaku. Lalu, kenapa
sekarang silet itu kau tujukan padamu? Kau benar-benar aneh!!” Dia menghakimiku dalam kegelapan itu.
Gelap. Ya, saat ini begitu
gelap. Aku bahkan harus meraba setiap pijakanku untuk dapat tetap berdiri. Tapi
Dia, Dia dengan mudah melangkah. Dia
menerangi setapak jalan di hadapanku. Dia
seperti cahaya lilin; kecil, namun dia begitu menenangkan.
Dia tak pernah pergi dariku. Dia
tak sedikitpun bergeming untuk memakiku, bahkan ketika segala macam bentuk
cinta meninggalkanku. Dia tetap
berada di sudutnya itu, di sudut yang tak dapat kulihat. Dari sanalah Dia memantauku, menjagaku, lalu datang
ketika aku mulai terjatuh. Dia ada
bahkan ketika seribu mimpi meninggalkanku. Dia
ada meski segudang siletku berusaha memutuskan setiap urat di tubuhnya. Bahkan segala
sumpah serapahku, baginya seperti amarah anak kecil yang Dia tahu itu tak benar. Dan kini aku tahu, aku benar
membutuhkannya.
Dia. Dia milik Tuhanku
yang sengaja dipinjamkan untukku. Dia
harapanku yang dikirimkan Tuhan dengan sengaja dan sadar-Nya. Dia akan ada di sini, menjagaku. Mungkin
sampai Tuhan dengan sengaja mengambil Dia
yang telah dipinjamkan padaku. Bukankah semua
memakai batas waktu?
“Aku masih disuruh Tuhanmu untuk
tinggal di sini,” tandas Dia. Dan aku
benar mengenai peminjaman itu, peminjaman Tuhan akan Dia.
2 Comments
Ini tulisan yg dititipkan Tuhan untukku :) Alhamdulillah....
ReplyDeleteaaakkkk!!! :)) yg kurang apa mas??
Deletehihi makasii udah di baca mas :)