NESTAPA ZULAIKHA

Perempuan itu tersenyum.

            Sore itu, sore di mana sepoi angin tenang, mega jingga bijaksana, siluet cakrawala memesona. Cahaya senja menimpa permukaan laut, menjadikannya berwarna keemasan, mengerling indah seperti bintang yang berkerlipan.

            Tepat di sore itulah, perempuan itu bulat sudah bertekad. Teguh sudah hatinya memegang sumpah. Sore itu, ia ingin benar-benar mengakhiri segalanya. Tidak akanada lagi dirinya yang berhati tenang, berjiwa karang, berwawasan lautan. Ia ingin menjadi perempuan biasa, yang butuh dilindungi, yang ingin kasih-mengasihi, yang mau berterang bersusah hati.

            Biarlah segalanya menjadi biasa. Biar, biar saja perempuan itu memutuskan semua ini. Sebagai bangsa, ia tak lagi berbahasa. Terusir telah nyata menetakkan luka. Sebagai suku, ia tak jua beradat. Terbuang telah benar-benar menghinakan si empunya badan.

            Perempuan itu tersenyum.

            Di negeri sendiri, ia terusir. Di negeri asing, tak berharga diri. Oh, perempuan dari tanah Deli!

***

            Malam itu kelam, dirajut langit kemerahan. Rupanya semesta telah menyiarkan petaka yang siap datang. Tapi apalah daya, manusia tetaplah manusia. Sedikit saja diberi perkara dalam hidupnya, sibuklah ia berkeluh-kesah, menerka-nerka maksud Tuhan. Syukur-syukur tak mengutuki Sang Pencipta. Mana sempat pula membaca kabar alam, menyelami hidup saja tak pernah sampai dasar.

            Angin bertiup. Cukup untuk menggigit kulit hingga mengundang gigil. Aroma tembakau lembab tercium samar-samar. Dekut gagak menegakkan bulu kuduk, agaknya maut mengarib dengan pasti.

            Beberapa jalan lengang pejalan. Papan-papan jalan dipenuhi bacaan “Halal Darah Feodal!”. Bahu-bahu gedung sesak coretan “Tanah Untuk Rakyat!”. Pepohonan padat gambar-gambar kematian, pun simbol-simbol laskar penuntut keadilan. Rupanya rencana sudah bertekad, eksekusi tinggal didekap.

            Istana Maimun yang semula benderang, tiba-tiba dihadang gelap. Sempurna sudah Medan berwujud kelam.

            Tentara gurka Inggris yang sedang berjaga, seketika angkat senjata. Tatapan disiagakan, pendengaran ditajamkan, pikiran dijernihkan. Jangan sampai salah tembak! Barangkali debar jantung mulai kehilangan ritme, mata-mata kian awas berirama.

            Para penjaga melihat ke sisi jalan tenang-tenang. Perlahan, sayup-sayup terdengar lagu-lagu Perjuangan Rakyat memenuhi seisi jalan. Iringan lagu kian jelas, mengantarkan langkah-langkah massa yang dipenuhi amarah.

            Para tentara terkesiap. Senjata diangkat tinggi-tinggi.

            “Halal darah feodal!”

            “Tanah untuk rakyat!”

            “Revolusi! NKRI harus merdeka!”

            Teriakan massa yang datang membentuk barikade melambung ke udara. Senyap yang sejak tadi tenang, ternyata menyimpan dendam yang siap dituai. Entah siapa yang menanam luka, menyebar nestapa, hingga malam itu, jelaslah penuaian apa yang harus ditebus.

            DUUUAARR!!

            Molotov meledak saat menyentuh gerbang istana.

            “Mana Tuanku?”

            “Serahkan Sultan dan keluarganya!”

            “Jangan bersembunyi! Heyy!! Halal darah feodal!”

            Rusuh. Keadaan kian tak terkendali. Tentara gurka melepaskan tembakan ke udara. Bukannya mundur dan menyerah, massa semakin terbakar. Rupa-rupanya dendam sudah kesumat.

            Istana Maimun dalam kondisi yang sangat padat. Bangsawan dari kota Maksum, Mabar, Labuhan Deli memadati Istana. Massa yang sebagian besar adalah buruh kontrak perkebunan, kian beringas saat mengetahui Sultan dan keluarganya aman di dalam Istana, tak dapat tersentuh. Amarah ini melahirkan api yang melahap rumah putri Sultan Deli yang berada tepat di seberang Istana. Teror tembakan menyasar dinding Istana. Puluhan Molotov dilemparkan paksa. Setengah barikade pendemo menyasar jalan Amaliun, menuju rumah Sultan dan keluarganya.

            “Halal darah Feodal!” Lagi, seruan itu mengguncang langit.

***

            Maret masih terlalu muda, namun duka sudah bertandang. Empat hari telah berlalu, namun desingan peluru, lontaran Molotov, penjarahan, pemerkosaan, masih berlaku. Kesultanan Langkat Tanjung Pura mampu bertahan hingga sejauh ini. Namun nasib baik tidak berpandang lama. Perlindungan di Kesultanan Langkat melemah.

            Adalah Zulaikha, gadis enam belas tahun yang sedang mengukur hidup dalam doa. Ia adalah putri kerabat Sultan Deli. Beberapa hari sebelum kejadian penyerangan, gadis itu mengunjungi karibnya di Tanjung Pura. Nasib tak berteman baik, penyerangan terjadi saat ia sedang tidur. Empat hari berlalu dan ia tak pernah tahu bagaimana keluarganya di Medan.

            Maka malam itu, malam kelima penyerangan, putri-putri Kesultanan Langkat bersama Sultan Langkat menyuruh Zulaikha pergi menjauhi Istana.

            “Pergilah Zulaikha. Aku berhutang hidup pada ayahmu jika terjadi sesuatu padamu,” ucap Sultan dengan bijaksana. Ia memandang putri kerabatnya itu tenang-tenang, meski hatinya sendiri tengah mencemaskan putri kandungnya yang juga terancam bahaya jika tetap tinggal di Istana.

            Wajah Zulaikha merah padam. Ada butiran yang mengerling di matanya. “Bagaimana mungkin saya meninggalkan Pakcik[1] dan keluarga. Saya harus kemana, Pakcik?”

            Sultan Langkat menekuk wajah. Ia pun sebenarnya tak tahu harus mengirim Zulaikha ke mana. “Pergilah ke Belawan. Aku akan akan mengirim dua orang pengawalku untuk memastikanmu selamat sampai Belawan. Mintalah bantuan kepada Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger[2] yang bertugas di sana. Pergi sejauh mungkin.”

            “Izinkan saya pergi bersama putri-putrimu, Pakcik. Biar saya sumpahkan nyawa saya untuk melindungi mereka.”

            “Tidak, Kak Long![3] Berpantang anak lari jika ayah dan umak masih berdiri. Pergilah, Kak Long! Kami akan tetap di sini, mempertahankan kerajaan ini. Kami lahir di sini, Kak Long. Di sini pula kami akan mati.” Seorang gadis, yang rambutnya panjang terurai, memakai Kebaya Labuh[4] merah muda, berkata dengan penuh keyakinan.

           Demi mendengar tutur kata Sang Putri, Zulaikha meneteskan air mata. Betapa suci hati kedua putri sultan di hadapannya ini. Ia memeluk keduanya.

           “Berangkatlah, Zulaikha dari tanah Deli.” Kali ini, istri Sultan Langkat berpetuah. Ia membawakan perbekalan seadanya untuk Zulaikha—uang, makanan, dan pakaian ganti.

           Sultan Langkat menyiapkan dua tentaranya untuk mengawal Zulaikha menuju Belawan. Sebelum berangkat, Sultan memerintahkan Zulaikha dan dua tentaranya untuk mengganti baju buruh kontrak perkebunan.

           “Jangan berbicara dengan orang asing. Tundukkan pandangan. Jangan biarkan orang lain mengetahui kau kerabat bangsawan.” Lagi, Sultan Langkat memberikan petuah terakhirnya pada Zulaikha.

           “Baik, Pakcik.” Zulaikha menyahut mantap.

           Malam itu masih sama kelamnya seperti malam-malam sebelumnya. Suara tembakan dan teriakan massa sahut-menyahuti. Aroma anyir darah mengudara menyesaki penciuman, mengundang mual dan kengerian.

           Malam itu, Zulaikha bersama dua tentara Sultan Langkat mengendap di tengah kegelapan malam. Ia harus tiba di Pelabuhan Belawan secepatnya.

***

           Zulaikha terengah-engah. Napasnya memburu tidak keruan. Satu dari dua pengawalnya yang mengawal dirinya sejak pertama kali meninggalkan Kerajaan Langkat mati terbunuh di tengah jalan. Nasib sial, tubuh Zulaikha dipenuhi lumpur. Tidak hanya sekali pula ia terjatuh saat harus berlari.

           Pengawalnya segera menemui Tentara Belanda yang berjaga di gerbang pelabuhan. Ia menjelaskan perihal Zulaikha dan menunjukkan surat yang telah ditulis Sultan Langkat sebelum mereka berangkat.

           Tentara yang menerima surat itu, segera kembali menjumpai Zulaikha dan pengawalnya setelah menunjukkan surat itu kepada Kepala Penjaga Pelabuhan. Dengan segera, nasib Zulaikha berpindah kepada tentara Belanda di hadapannya.

           “Anda sudah selamat. Berbaiklah di negeri orang. Semoga nasib baik selalu bersamamu,” ucap pengawal itu kepada Zulaikha.

           Zulaikha mengangguk. “Terima kasih. Semoga kau dalam lindungan Allah.”

           Malam itu, malam kesepuluh Bulan Maret; malam ketujuh setelah penyerangan. Zulaikha telah melewati dua hari yang sangat panjang dan mengancam nyawa. Agaknya ia tak tenang untuk pergi, namun tak jua sanggup untuk mati. Beberapa jam kemudian, kapal Belanda yang mengangkut hasil perkebunan bertolak dari Pelabuhan Belawan menuju Pelabuhan Tanjung Priok.

           Hati Zulaikha susah. Bercemas pula wajahnya. Membayangkan esok saja ia tak bernyali. Amboi! Seminggu lalu ia dengan riang hati mengunjungi Sultan Langkat. Kemarin, nyawanya hampir berpisah dengan raga. Sekarang, ia melaut tanpa tahu tujuan.

           Kiranya beginilah hidup. Manusia hanyalah bagian-bagian kecil dari rencana besar Tuhan.

***

           Dua bulan setelah penyerangan. Zulaikha tinggal di Batavia. Seorang perempuan mantan buruh kontrak perkebunan menyelamatkannya.

           Berita runtuhnya Sumatera Timur menyebar melalui media massa. Koran-koran Belanda berlomba-lomba memuat berita Revolusi Sosial yang memakan ribuan korban. Medan, Labuhan Batu, Asahan, Tanjung Balai, Karo hingga Simalungun menuai dendam yang telah kesumat. Raja, Sultan, kerabat, dan para bangsawan menjadi korban. Harta bukan segala, tetapi segala menjadi beringas karena harta. Penjarahan, pemerkosaan, dan pembunuhan menjadi duka terdalam Sumatera Timur.

           Zulaikha berteman duka. Ayah ibunya telah tiada. Sanak-saudara tak tahu di mana. Kerabat? Usah lagi ditanya. Kabar terakhir yang didengarnya adalah kedua putri Sultan Langkat diperkosa di hadapan Sultan. Pun saudaranya yang digelari pujangga baru, mereguk maut dengan kejam.

           “Hey, Zulaikha! Sudah dua bulan awak tak buat apapun. Mau bagaimana kita ini?” Sutini, mantan buruh kontrak yang menyelamatkan Zulaikha berkata. Usianya sekitar dua puluh lima. Wajahnya tak bosan dipandang, begitu manis dan bersahaja.

           Zulaikha mendongak. Menatap Sutini tenang-tenang. “Tak ada sekolah yang nak terima saya.”

           Sutini bersedekap. “Sudah saya bilang, awak haruslah buang gelar Tengku itu. Susah awak nanti nak berbuat.”

           Senyap. Zulaikha tak ingin menyahuti. Cobaan apalagi ini? Membuang gelar Tengku, sama saja menghilangkan identitas diri.

           Zulaikha pilu.

***

           Malang tak dapat ditolak, mujur tak boleh diraih.[5] Alangkah Zulaikha bersenang hati, kesusahannya macam-macam akan berakhir. Seorang planter[6] memperistri Zulaikha dan mengajaknya ke Netherland.

           Setahun lebih setelah tragedi Maret berdarah, setengah tahun berlalu setelah Zulaikha setengah mati membujuk hati agar ikhlaslah ia membuang gelar Tengku-nya. Sebab nasib buruk selalu mengikutinya. Tak ada sekolah yang mau menerimanya, tak ada saudagar-saudagar yang mau mempekerjakannya.

           Zulaikha harus mengakui betapa terasingnya ia setelah kejadian Revolusi Sosial itu. Barangkali ada keluarga bangsawan yang selamat, namun tak sekalipun kabar berita tersiar. Kesultanan Melayu seolah dilenyapkan bumi.

           Tapi biarlah. Hidup harus berlanjut. Maka Zulaikha tegarkan hati bersuamikan darah penjajah.

***

           “Bagaimana awak bisa selamat?” Tanya Zulaikha saat bertemu dengan putra Sultan Asahan.

           Lelaki itu bersedekap, memejamkan mata beberapa jenak. Agaknya pertanyaan Zulaikha akan membuka luka lama. “Sebelum ajal, berpantang mati. Kaki saya sakit pada saat itu, hanya obat kuning yang jadi penawar. Nasib baik, saat barisan pemuda menyeret saya menuju Volksfront[7], saya disuruh pulang karena bau obat kuning,” jawabnya.

           Setahun setelah menikah dengan planter asal Belanda, Zulaikha tak jua menemukan nasib baik. Di Belanda, Zulaikha hanya dijadikan selir, sebab planter yang menikahinya telah beristri. Saat suaminya berlayar menuju perkebunan, ia selalu disiksa oleh istri pertama suaminya. Ia dihinakan, dicaci, dimaki. Segala kepahitan telah menetakkan luka di hatinya. Di negeri sendiri ia terusir, di negeri asing ia tak berharga diri. Oh, Zulaikha dari tanah Deli!

           Hatinya lelah didera nestapa. Zulaikha memutuskan meninggalkan rumah suaminya. Dalam pelariannya, ia memutuskan untuk kembali ke Batavia. Di perjalanan inilah ia bertemu dengan Tengku Yasir. Ia rindu, teramat rindu. Terlalu lama jauh dari tanah kelahiran. Hidup tak jua memberinya jalan baik. Kali ini, Zulaikha bertemu seseorang yang bernasib tak jauh beda dengannya.

           Sesuatu dalam dada Zulaikha bergetar, dan getaran itu membuahkan sesuatu yang memberatkan pelupuk matanya.

***

            “Ayolah. Tak inginkah Mak Long[8] kembali beradat? Bersuku yang berbudaya?”

            Zulaikha bergeming. Mata tuanya mengguratkan kerinduan. Bertahun-tahun hidup terusir menetakkan luka abadi di hatinya. Berpuluh tahun ia terasing, setiap detik badannya  terhinakan. Berpuluh tahun ia bersembunyi, dan ia lelah berlari.

            Adalah Wan[9] Tanoe, pemuda setengah Melayu yang berbahasa. Sebagai yang terpelajar, ia memiliki tempat untuk mengadakan Pagelaran Melayu. Meski ayahnya berlain suku, namun darah Melayu ibunya menderas dan menjiwa di dirinya.

            “Ayolah, Mak. Saya akan bawa Mak Long kembali ke tanah Deli. Tak kah Mak Long merindukan Deli?” lagi-lagi Wan Tanoe berusaha membujuk Zulaikha agar mau bergabung dalam Pagelaran Melayu yang akan digelarnya dalam waktu dekat.

            Pelan, bahu Zulaikha berguncang. Air mata menganak sungai di pipinya. Zulaikha sangat merindukan tanah Deli. Tetapi rumah mana yang akan menerima kembali apa-apa yang telah hina?

           Bagai kerakap tumbuh di atas batu, hidup enggan mati tak mau.[10] Dasar Zulaikha bernasib buruk, sesampainya di Batavia berpuluh tahun lalu, ia benar-benar hidup melarat. Tak ada saudagar yang mau mempekerjakannya. Dan cobaan hidup kian nyata di hadapannya.

           “Saya hidup hanya berpilihkan dua hal waktu itu, melacur atau mati. Saya ditipu. Bukan kerja yang saya dapat, melainkan terjebak di rumah bordir,” ucap Zulaikha. Ia berusaha menjelaskan kepada Wan Tanoe perihal susah yang mendera hati.

           Wan Tanoe mendengarkan takzim.

           “Saya dah tengok kawan-kawan saya yang mati. Sebab pemilik rumah bordir teramat kejam. Jatah makan kami selalu dikurangi. Pilihan hidup hanya dua, melacur atau mati. Maka hari itu, lepas adzan Ashar, ketika pemilik rumah bordir membuka pintu kamar, saya maju.” Zulaikha menyeka air matanya.

           “Lepas itu, saya dimandikan, diberikan pakaian bagus, didandani, dan diberi makanan. Malam itu juga, saya dah disuruh layan tamu yang datang. Barangkali Allah telah laknat saya, sebab saya hinakan diri demi sesuap nasi. Tiga tahun lalu saya diusir dari rumah bordir sebab saya sudah tua. Tak laku lagi, katanya. Saya sudah hina, Nak. Bagaimana saya akan pulang ke tanah Deli dengan kondisi ini?”

           Wan Tanoe merangkul bahu Zulaikha. “Apakah keluarga Mak Long akan mengusir jika Mak Long pulang dengan kondisi seperti ini? Jika keluarga Mak Long masih hidup.”

           Senyap. Zulaikha gugu.

           “Tanah kelahiran adalah rumah, keluarga kita. Tak ada keluarga yang menghinakan anggotanya. Tak ada rumah yang tak berterima kepulangan.” Wan Tanoe berkata yakin.

***

           06 Maret 1980. Pagelaran Melayu digelar guna memperingati tragedi Maret berdarah berpuluh tahun lalu. Para pemuda Melayu memakai Teluk Belanga[11] senada, sedangkan para perempuan menggunakan Kebaya Labuh. Para sepuh dan keluarga bangwasan dipersilakan duduk di kursi terdepan. Istana Maimun begitu meriah.

           Zulaikha berhati biru, dipenuhi haru. Agaknya ia mengerti bagaimana merasa pulang setelah kian lama terusir. Tatapannya menyasar semua pengunjung yang datang. Bulat sudah ia bertekad sejak sore. Sumpah yang diucapkannya saat kembali ke tanah Deli ini pun sudah teguh.

           Pementasan teater yang digarap Wan Tanoe sudah dimulai. Zulaikha berperan sebagai seorang perempuan yang terusir dan berputus asa dengan hidupnya. Amboi Zulaikha dari tanah Deli yang bertahun-tahun terusir, kenallah ia dengan segala retak perasaan tokoh yang diperankannya. Terpanalah orang-orang melihat lakonnya yang begitu piawai.

           Berulang kali Zulaikha mendulang tepuk tangan. Pujian-pujian pun mengudara mengatasnamakan dirinya.

           Menjelang akhir cerita. Zulaikha naik ke atas kursi. Sekali lagi tatapannya menyasar semua pengunjung yang memadati halaman Istana Maimun. Ia menghitung mundur dalam hati.

           “Kami lahir di sini, dan mati pun di sini,” ucap Zulaikha menutup cerita.

           Zulaikha tersenyum. Aroma kejayaan Melayu meranum. Kiranya tak ada lagi yang perlu bersembunyi dan terhinakan. Segala gelar dikenakan dengan penuh kebanggaan.

           Lampu pentas dipadamkan. Gemeretak kursi jatuh terdengar nyata.

           Lagi dan lagi, Zulaikha menuai tepuk tangan dan pujian.

           Semua haru, duka dan derita berpuluh-puluh tahun lalu membuat pengunjung menitikkan air mata. Lakon yang diperankan Zulaikha sangat nyata.

           Wan Tanoe terperanjat. Ia lengah. Malaikat maut telah memanjat panggung pertunjukan. Langkahnya memburu menuju panggung. “Mak Longgg!!”


[1] Sebutan Paman dalam suku Melayu

[2] Sebutan untuk Tentara Belanda

[3] Panggilan untuk anak pertama/sulung dalam suku Melayu

[4] Baju adat Melayu tertua, pada masa itu hanya digunakan oleh keluarga bangsawan

[5] Peribahasa Melayu yang artinya nasib buruk tidak dapat dicari-cari.

[6] Sebutan untuk penanam atau pemilik kebun dari Belanda

[7] Tanah lapang untuk diadakannya pengadilan rakyat

[8] Sebutan untuk Bibi

[9] Gelar yang digunakan oleh anak yang lahir dari perkawinan antara lelaki biasa dengan wanita keturunan Tengku

[10] Hidup bernasib buruk (dalam kemelaratan)

[11] Pakaian Melayu untuk laki-laki

Post a Comment

0 Comments